Oleh Abi Sabila
“Yah, aku boleh nanya nda?” tanya seorang anak pada ayahnya. Saat itu mereka baru saja sholat Ashar di mushola salah satu tempat wisata.
Sang Ayah tersenyum. Ada yang tak biasa dengan putrinya. “Kamu itu lho! Beli jajan nda pakai ijin Ayah dulu, giliran nanya pakai minta ijin segala. Mau tanya apa?”
“Tapi Ayah janji, nda boleh marah ya?” sang bocah berusaha mensejajarkan langkahnya.
“Insha Allah. Ayo, mau tanya apa?”
“Ayah kalau nolong orang suka pilih-pilih, ya?” tanya sang anak, ragu-ragu.
Sang ayah menghentikan langkahnya, terkejut. “Maksudnya?”
“Iya, suka mbeda-bedain!” jawab sang anak santai. “Buktinya tadi waktu ada ibu-ibu mau pinjam mukena, Ayah nyuruh aku sholat dulu, baru meminjamkan mukenaku.”
“Oh, itu!”
“Tadi siang, waktu aku antri di kamar mandi, Ayah minta aku ngalah, memberikan antrianku pada mbak-mbak yang pakai baju biru. Mentang-mentang dia lebih muda dan cantik ya, Yah?”
“Astaghfirulloh! Bukan begitu, anakku!”
“Lalu?”
“Begini. Ayah menyuruhmu mengalah saat antri di depan kamar mandi karena Ayah melihat orang itu sudah sangat kepayahan menahan sakit perutnya. Ayah tidak memperhatikan usia ataupun wajahnya, tapi Ayah bisa merasakan kecemasannya. Sejak datang, ia sudah memegangi perutnya. Ayah khawatir, jika kamu tidak memberikan antrianmu, dia tak bisa lagi menahan. Kalau itu sampai terjadi, apa kamu tega? Sementara kamu masih bisa menahan untuk berkemih.”
“Ibu-ibu yang di mushola? Apa tidak lebih baik jika aku meminjamkan mukena padanya dulu. Pahalaku kan jadi berlipat ganda!”
“Anakku, jika aku menyuruhmu sholat dulu baru meminjamkan mukenamu, sungguh bukan karena yang meminjam adalah seorang ibu-ibu. Bukan! Bukan itu. Ketahuilah, anakku. Sama-sama menolong, tapi untuk urusan dunia berbeda dengan urusan akhirat, atau ibadah. Untuk urusan dunia, kita dianjurkan mengutamakan kepentingan orang lain, kepentingan umum bahkan di atas kepentingan pribadi. Tapi untuk urusan ibadah, jika tidak bisa dilakukan bersama-sama, karena tidak membawa mukena seperti yang terjadi pada ibu tadi misalnya, tunaikan kewajiban sendiri dulu, baru orang lain.”
“Kok, begitu?”
“Begini, seumpama kamu diberi pilihan, siapakah yang akan memasuki pintu Surga pertama kali, apakah kamu akan memberikan kesempatan itu pada orang lain?”
“Tidak! Aku dulu.”
“Nah, begitulah gambarannya. Ini bukan akal-akalan Ayah, ini yang Rosululloh contohkan. Untuk urusan ibadah, jika tidak bisa bersama-sama, kita utamakan diri sendiri dulu. Bukan egois, bukan pula tidak peduli dengan orang lain, tapi agar kita selalu bersegera melakukan kebaikan ( ibadah ). Bisa dimengerti?”
Sang anak hanya mengangguk.
“Masih menuduh Ayah pilih-pilih?”
Sang anak hanya menggeleng, tersipu malu.
“Untuk urusan dunia, kau boleh menunda keperluanmu, tapi untuk urusan ibadah, jangan tunda waktumu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar