Sumber : Al-Mawaddah
oleh Abu Abdillah, ma'had Al-Furqon Srowo Sidayu Gresik
Sudah merupakan sunnatulloh, setiap pribadi yang mengaku sebagai orang beriman, pasti akan mengalami berbagai macam cobaan untuk menguji keimanannya.
Demikian juga aku. Aku terlahir dari sebuah keluarga yang masih awam dari pengetahuan agama. Hari-hari kulalui hanya untuk mempelajari pengetahuan umum saja, tanpa ada motivasi untuk belajar agama. Hal itu juga karena didukung kondisi keluarga yang serba kekurangan, di mana ayah hanya seorang guru yang harus membiayai kami, tujuh bersaudara yang umur kami masing-masing hanya terpaut 1 atau 2 tahun. Inilah yang akhirnya mendorong ayahku membuat sebuah doktrin yang berlaku bagi kami, anak-anaknya. Yaitu kami harus melalui masa pendidikan di sekolah negeri, tidak boleh di sekolah swasta. Sebab ayahku tidak akan mampu membiayai kami bila kami masuk ke sekolah swasta. Sehingga perhatianku terfokus hanya untuk mengejar nilai pelajaran umum, jauh dari nilai-nilai agama. Dan alhamdulillah, berkat kedisiplinan ayahku dalam mendidik putra-putrinya, kami semua bisa memenuhi harapan beliau.
Ketika aku kelas dua SMP, kakakku yang keempat, yang kuliah di sebuah PTN di Surabaya, mulai aktif mengikuti kegiatan keagamaan di kampusnya. Dia sering mengirim surat berupa nasihat-nasihat yang sangat berguna bagiku. Jika dia pulang kampung tuk mengambil jatah bulanan, dia juga sering membawakanku buku-buku agama. Dari sinilah cakrawala pengetahuanku tentang agama Islam mulai terbuka, yang selama ini sama sekali tidak aku kenali, walau aku berpredikat muslim sejak lahir. Aku tersadar dari kelalaianku selama ini. Dan aku bersyukur sekali karena hidayah itu mulai menerangi jiwaku yang gelap gulita.
Puncaknya, ketika kelas 3 SMP, aku mendapat hadiah sebuah buku kecil yang kalau tidak salah berjudul “Dosa-dosa Besar Yang Telah Dilupakan Umat Islam”. Pengarangnya aku sudah lupa. Isi dari buku tersebut intinya adalah perintah untuk memakai jilbab. Sejenak aku terpana dengan isi buku itu. Lembar demi lembar kupahami, tak terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Isak tangis yang kutahan menyesakkan dadaku. Aku tersadar. Betapa hinanya diriku. Betapa bodohnya diriku dari syari’at Alloh. Karena selama ini aku belum pernah mengetahui perintah itu.
Nasihat dalam buku itu begitu memilukan hatiku. Keinginanku untuk segera memakai jilbab terasa tidak bisa lagi ditunda. Tapi kondisiku? Aku tidak punya jilbab. Aku juga tidak mampu membelinya. Karena aku hanya bisa membeli baju baru jika hari raya tiba. Itu sudah menjadi tradisi keluargaku yang memang kondisi ekonominya pas-pasan.
Dan pertolongan Alloh itu dekat. Tiba-tiba saja aku teringat… ibuku mempunyai meksi atau rok panjang dan kerudung segitiga kecil yang biasa dipakai untuk menghadiri pengajian di desaku, yang itu pun jarang ada. Sehingga meksi dan kerudung itu jarang sekali dipakai oleh ibuku. Aku berusaha merayu ibuku agar pakaian itu boleh kupakai. Alhamdulillah akhirnya ibuku mengizinkannya. Sulit dibayangkan, anak kelas 3 SMP memakai rok ibunya. Tentu sangat aneh dan lucu. Aku harus memberinya peniti agar rok itu tidak ‘melorot’. Walau begitu, aku merasa sangat bersyukur. Aku telah bisa menjalankan perintah Alloh.
Bismillah. Hari itu kumantapkan diri mulai memakai jilbab seadanya. (Walau sebetulnya belum bisa disebut jilbab, tapi pemahamanku saat itu [th 1988], aku sudah melaksanakan perintah Alloh untuk memakai jilbab). Ternyata, apa yang terjadi? Ujian demi ujian mulai menimpaku.
Ketika aku keluar dari rumahku, banyak sekali komentar-komentar yang aku tak tahan mendengarnya, bahkan begitu menyakitkan hatiku. Cibiran-cibiran serta ejekan datang bertubi-tubi dari sana-sini. Aku memaklumi, memang waktu itu masih sangat jarang orang yang memakai jilbab. Maka aku hanya bisa berdo’a agar aku tetap teguh dalam pendirianku.
Hari-hari kulalui bersama jilbab ala kadarnya sampai tibalah hari yang sangat membahagiakanku. Ketika menjelang lebaran, aku boleh membuat baju yang menutup aurat dan jilbabnya yang lebih besar dan lebih memadai dari pada yang pernah kupakai sebelumnya. Alhamdulillah. Tapi perjuanganku mempertahankan mahkotaku belumlah selesai.
Ketika aku lulus SMP, alhamdulillah aku diterima di SMA Negeri favorit yang ada di kabupatenku. Jaraknya agak jauh dari rumahku, sehingga aku harus indekos. Sejak awal masuk aku sudah siapkan seragam berupa rok dan baju atasan yang agak panjang, yaitu ukuran ¾. Dan untuk menutupi sisa kakiku yang masih kelihatan, aku memakai kaos kaki yang panjang. Saat itu belum ada siswi yang berjilbab satu pun, termasuk di sekolah baruku. Aku belum berani memakai jilbab di sekolah baruku. Keadaan ini begitu menyiksa batinku. Ketika setiap anak harus mengikuti extra kurikuler, aku langsung mengambil extra kerohanian sebagai pilihanku. Dan gayung bersambut, ruhaniku yang haus segera mendapat siraman yang menyejukkan hatiku. Banyak ilmu agama yang kudapat dari kegiatan extra tersebut. Apalagi ketika tawaran kakakku yang siap mengajak teman-temannya mengisi kajian di kegiatan extra diterima sepenuhnya oleh sie kerohanian. Maka, kami merasa ilmu dan iman kami menjadi semakin mantap. Kami menjadi lebih bersemangat untuk menjalankan syari’at-syari’at Alloh yang telah kami pelajari, salah satunya ialah berjilbab. Ujian pun kembali menghadang jalan perjuanganku.
Kami digelari sebagai kelompok ekstrem karena kami tidak mau berjabat tangan dengan pelajar putra. Tapi, ejekan demi ejekan hanya kami tanggapi dengan berusaha untuk tetap bersabar dalam menjalankan perintah Alloh. Sampai akhirnya, alhamdulillah, mulai bermunculan teman-temanku yang memakai jilbab. Aku senang sekali karena mempunyai teman-teman yang se-akidah, yang bisa aku jadikan tempat untuk saling menasihati sehingga iman ini tidak mudah luntur.
Hari demi hari seiring dengan keaktifan kami mengaji, kami semakin paham tentang arti pentingnya memakai jilbab. Wanita yang tidak memakai jilbab tidak akan mendapatkan bau surga walau dari jarak perjalanan yang sangat jauh. Hal ini menjadikan kami makin tidak betah dengan keadaan kami yang selalu bongkar pasang jilbab yang tidak pada tempat dan waktunya. Akhirnya, dengan mendapat dukungan dari para ikhwan teman-teman ngaji, kami para ‘jilbaber’ memutuskan untuk memakai jilbab di sekolah, apapun akibatnya. Kami sudah siap menghadapi ujian apapun, walau mungkin nanti kami akan dikeluarkan dari sekolah sekalipun. Hasbunallah wani’mal wakil (cukuplah Alloh yang menjadi sebaik-baik wakil kami) selalu menjadi motto kami. Perjuangan kami semakin gigih. Kami berjuang bagaikan prajurit yang menghadapi musuh yang siap menghadang. Dan… ternyata benar-benar keimanan kami diuji oleh Alloh untuk yang kesekian kalinya. Sungguh benar, Alloh tidak akan membiarkan kami mengatakan beriman sebelum menguji kami dengan berbagai macam ujian. Alloh Subhanallohu wa Ta'ala berfirman:
oleh Abu Abdillah, ma'had Al-Furqon Srowo Sidayu Gresik
Sudah merupakan sunnatulloh, setiap pribadi yang mengaku sebagai orang beriman, pasti akan mengalami berbagai macam cobaan untuk menguji keimanannya.
Demikian juga aku. Aku terlahir dari sebuah keluarga yang masih awam dari pengetahuan agama. Hari-hari kulalui hanya untuk mempelajari pengetahuan umum saja, tanpa ada motivasi untuk belajar agama. Hal itu juga karena didukung kondisi keluarga yang serba kekurangan, di mana ayah hanya seorang guru yang harus membiayai kami, tujuh bersaudara yang umur kami masing-masing hanya terpaut 1 atau 2 tahun. Inilah yang akhirnya mendorong ayahku membuat sebuah doktrin yang berlaku bagi kami, anak-anaknya. Yaitu kami harus melalui masa pendidikan di sekolah negeri, tidak boleh di sekolah swasta. Sebab ayahku tidak akan mampu membiayai kami bila kami masuk ke sekolah swasta. Sehingga perhatianku terfokus hanya untuk mengejar nilai pelajaran umum, jauh dari nilai-nilai agama. Dan alhamdulillah, berkat kedisiplinan ayahku dalam mendidik putra-putrinya, kami semua bisa memenuhi harapan beliau.
Ketika aku kelas dua SMP, kakakku yang keempat, yang kuliah di sebuah PTN di Surabaya, mulai aktif mengikuti kegiatan keagamaan di kampusnya. Dia sering mengirim surat berupa nasihat-nasihat yang sangat berguna bagiku. Jika dia pulang kampung tuk mengambil jatah bulanan, dia juga sering membawakanku buku-buku agama. Dari sinilah cakrawala pengetahuanku tentang agama Islam mulai terbuka, yang selama ini sama sekali tidak aku kenali, walau aku berpredikat muslim sejak lahir. Aku tersadar dari kelalaianku selama ini. Dan aku bersyukur sekali karena hidayah itu mulai menerangi jiwaku yang gelap gulita.
Puncaknya, ketika kelas 3 SMP, aku mendapat hadiah sebuah buku kecil yang kalau tidak salah berjudul “Dosa-dosa Besar Yang Telah Dilupakan Umat Islam”. Pengarangnya aku sudah lupa. Isi dari buku tersebut intinya adalah perintah untuk memakai jilbab. Sejenak aku terpana dengan isi buku itu. Lembar demi lembar kupahami, tak terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Isak tangis yang kutahan menyesakkan dadaku. Aku tersadar. Betapa hinanya diriku. Betapa bodohnya diriku dari syari’at Alloh. Karena selama ini aku belum pernah mengetahui perintah itu.
Nasihat dalam buku itu begitu memilukan hatiku. Keinginanku untuk segera memakai jilbab terasa tidak bisa lagi ditunda. Tapi kondisiku? Aku tidak punya jilbab. Aku juga tidak mampu membelinya. Karena aku hanya bisa membeli baju baru jika hari raya tiba. Itu sudah menjadi tradisi keluargaku yang memang kondisi ekonominya pas-pasan.
Dan pertolongan Alloh itu dekat. Tiba-tiba saja aku teringat… ibuku mempunyai meksi atau rok panjang dan kerudung segitiga kecil yang biasa dipakai untuk menghadiri pengajian di desaku, yang itu pun jarang ada. Sehingga meksi dan kerudung itu jarang sekali dipakai oleh ibuku. Aku berusaha merayu ibuku agar pakaian itu boleh kupakai. Alhamdulillah akhirnya ibuku mengizinkannya. Sulit dibayangkan, anak kelas 3 SMP memakai rok ibunya. Tentu sangat aneh dan lucu. Aku harus memberinya peniti agar rok itu tidak ‘melorot’. Walau begitu, aku merasa sangat bersyukur. Aku telah bisa menjalankan perintah Alloh.
Bismillah. Hari itu kumantapkan diri mulai memakai jilbab seadanya. (Walau sebetulnya belum bisa disebut jilbab, tapi pemahamanku saat itu [th 1988], aku sudah melaksanakan perintah Alloh untuk memakai jilbab). Ternyata, apa yang terjadi? Ujian demi ujian mulai menimpaku.
Ketika aku keluar dari rumahku, banyak sekali komentar-komentar yang aku tak tahan mendengarnya, bahkan begitu menyakitkan hatiku. Cibiran-cibiran serta ejekan datang bertubi-tubi dari sana-sini. Aku memaklumi, memang waktu itu masih sangat jarang orang yang memakai jilbab. Maka aku hanya bisa berdo’a agar aku tetap teguh dalam pendirianku.
Hari-hari kulalui bersama jilbab ala kadarnya sampai tibalah hari yang sangat membahagiakanku. Ketika menjelang lebaran, aku boleh membuat baju yang menutup aurat dan jilbabnya yang lebih besar dan lebih memadai dari pada yang pernah kupakai sebelumnya. Alhamdulillah. Tapi perjuanganku mempertahankan mahkotaku belumlah selesai.
Ketika aku lulus SMP, alhamdulillah aku diterima di SMA Negeri favorit yang ada di kabupatenku. Jaraknya agak jauh dari rumahku, sehingga aku harus indekos. Sejak awal masuk aku sudah siapkan seragam berupa rok dan baju atasan yang agak panjang, yaitu ukuran ¾. Dan untuk menutupi sisa kakiku yang masih kelihatan, aku memakai kaos kaki yang panjang. Saat itu belum ada siswi yang berjilbab satu pun, termasuk di sekolah baruku. Aku belum berani memakai jilbab di sekolah baruku. Keadaan ini begitu menyiksa batinku. Ketika setiap anak harus mengikuti extra kurikuler, aku langsung mengambil extra kerohanian sebagai pilihanku. Dan gayung bersambut, ruhaniku yang haus segera mendapat siraman yang menyejukkan hatiku. Banyak ilmu agama yang kudapat dari kegiatan extra tersebut. Apalagi ketika tawaran kakakku yang siap mengajak teman-temannya mengisi kajian di kegiatan extra diterima sepenuhnya oleh sie kerohanian. Maka, kami merasa ilmu dan iman kami menjadi semakin mantap. Kami menjadi lebih bersemangat untuk menjalankan syari’at-syari’at Alloh yang telah kami pelajari, salah satunya ialah berjilbab. Ujian pun kembali menghadang jalan perjuanganku.
Kami digelari sebagai kelompok ekstrem karena kami tidak mau berjabat tangan dengan pelajar putra. Tapi, ejekan demi ejekan hanya kami tanggapi dengan berusaha untuk tetap bersabar dalam menjalankan perintah Alloh. Sampai akhirnya, alhamdulillah, mulai bermunculan teman-temanku yang memakai jilbab. Aku senang sekali karena mempunyai teman-teman yang se-akidah, yang bisa aku jadikan tempat untuk saling menasihati sehingga iman ini tidak mudah luntur.
Hari demi hari seiring dengan keaktifan kami mengaji, kami semakin paham tentang arti pentingnya memakai jilbab. Wanita yang tidak memakai jilbab tidak akan mendapatkan bau surga walau dari jarak perjalanan yang sangat jauh. Hal ini menjadikan kami makin tidak betah dengan keadaan kami yang selalu bongkar pasang jilbab yang tidak pada tempat dan waktunya. Akhirnya, dengan mendapat dukungan dari para ikhwan teman-teman ngaji, kami para ‘jilbaber’ memutuskan untuk memakai jilbab di sekolah, apapun akibatnya. Kami sudah siap menghadapi ujian apapun, walau mungkin nanti kami akan dikeluarkan dari sekolah sekalipun. Hasbunallah wani’mal wakil (cukuplah Alloh yang menjadi sebaik-baik wakil kami) selalu menjadi motto kami. Perjuangan kami semakin gigih. Kami berjuang bagaikan prajurit yang menghadapi musuh yang siap menghadang. Dan… ternyata benar-benar keimanan kami diuji oleh Alloh untuk yang kesekian kalinya. Sungguh benar, Alloh tidak akan membiarkan kami mengatakan beriman sebelum menguji kami dengan berbagai macam ujian. Alloh Subhanallohu wa Ta'ala berfirman:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. al-Ankabut [29]: 2).
Ujian apa lagi yang menghadang perjuangan Ukhti kita dalam memperjuangkan mahkotanya? Silakan simak kelanjutan penuturannya di edisi mendatang insya Alloh Ta'ala.