Kamis, 09 Juni 2011

Fiqhut Thaharah: Tayamum

1. Ta’rif
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Tayamum adalah menggunakan tanah yang suci dengan cara tertentu disertai niat untuk kebolehan shalat. Firman Allah:

وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿٤٣﴾

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43).

Tayamum dapat menggantikan wudhu dan mandi.

2. Sebab Kebolehan Tayamum

Sebab utama diperbolehkan tayamum adalah karena ketiadaan air, seperti dalam firman Allah, “… kemudian kamu tidak mendapat air (An-Nisa: 43)
Ketiadaan air itu bisa hakiki atau hukmi, dan masing-masing memiliki kondisi yang sangat beragam, kami ringkas berikut ini:

a. Ketiadaan hakiki: yaitu dengan tidak ditemukan air setelah melakukan pencarian baik dilakukan oleh musafir yang jauh ari perkampungan sejauh satu mil, atau di perkampungan yang tidak ada air. Kewajiban awalnya adalah mencari air, jika ada yang dekat,[1] atau dugaan kuat ada air di suatu tempat. Demikianlah pendapat mazhab Hanafi. Sedang menurut mazhab Syafi’i dan Hambali kewajiban mencari itu berlaku jika yakin ada air.
Atau mendapatkan air yang tidak cukup untuk bersuci, atau lebih dibutuhkan untuk minum sendiri atau minum makhluk lain, manusia atau hewan, atau lebih dibutuhkan untuk makan. Imam Ahmad berkata: Beberapa orang sahabat melakukan tayamum dan menyimpan air untuk minumnya.

b. Ketiadaan Hukmi: yaitu keberadaan air yang cukup tetapi ia tidak dapat menggunakannya karena sakit dan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya. Atau karena air sangat dingin yang membahayakan manusia jika memakainya dan tidak mampu menghangatkannya. Sahabat Amr bin Ash RA shalat Subuh dengan tayamum karena takut celaka jika mandi dengan air dingin dalam perang Dzatussalasil, dan Rasulullah mengiyakannya. (Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban, Al-Bukhari memberikan catatan hadits ini, Al-Mundziri menilainya hadits Hasan, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkannya).
Atau air berada di dekat, tetapi tidak dapat mengambilnya karena ada musuh atau tidak ada alat untuk mengeluarkannya dari sumur.

c. Kehabisan waktu. Jika seseorang merasa takut kehabisan waktu shalat jika menggunakan air, dan cukup waktu jika tayamum lalu shalat, maka tidak wajib mengulang menurut mazhab Maliki, wajib mengulang menurut mazhab Hanafi. Tidak boleh tayamum meskipun kehabisan waktu menurut mazhab Hambali dan Syafi’i.

3. Tanah Sebagai Alat  Tayamum

Tanah yang digunakan adalah yang berada di permukaan bumi. Dari itulah diperbolehkan bertayamum dengan debu dan seluruh benda suci sejenisnya yang ada di muka bumi seperti pasir, batu, semen, dan kapur. Tetapi menurut mazhab Syafi’i, tayamum hanya diperbolehkan dengan debu atau pasir yang mengandung debu.

4. Cara Tayamum

Seorang yang hendak bertayamum berniat dahulu, kemudian membaca basmalah, lalu menepukkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan sekali atau dua kali tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga tidak ada debu yang membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu ke muka dan dua telapak tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar bin Yasir RA berkata,

بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِد الْمَاءَ فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak menemukan air untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti hewan. Dan ketika saya bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi bersabda, ‘Sebenarnya kamu cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung telapak tangan dan wajahnya.” (Muttafaq Alaih).

Demikianlah mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i, mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua siku. Mereka berpegang dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai menandingi hadits Ammar di atas. Imam Nawawi, penulis kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, dan Ash Shan’ani penulis kitab Subulussalam, mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya bermazhab Syafi’i

5. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dengan Tayamum

Tayamum adalah pengganti wudhu dan mandi, maka dengan tayamum itu diperbolehkan apa saja yang diperbolehkan oleh keduanya, seperti: Shalat, thawaf, dan memegang mushaf. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang bertayamum dapat shalat dengan tayamumnya itu berapa saja shalat fardhu maupun sunnah yang dia mau, sehingga hilang penyebab pembolehan tayamum. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i tayamum hanya bisa dipakai untuk sekali shalat fardhu dan shalat sunnah tidak terbatas.

6. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayamum

Segala yang membatalkan wudhu, membatalkan tayamum. Tayamum batal jika hilang penyebab pembolehan, seperti sudah mendapati air atau sudah mampu menggunakan air. Akan tetapi jika sudah shalat dengan tayamum kemudian menemukan air maka ia tidak wajib mengulanginya[2]. Sedangkan orang yang tayamum karena junub maka ia harus mandi ketika sudah menemukan air.[3]

Catatan Kaki:[1] Keberadaan air dianggap jauh ketika berjarak lebih dari satu mil (1847 m) menurut mazhab Hanafi, atau setengah farsakh sekitar satu setengah  mil menurut mazhab Syafi’i (2771 m) atau dua mil  menurut mazhab Maliki (3694 m)
[2] Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i karena hadits Rasulullah saw. terhadap orang yang tidak mengulang shalat setelah menemukan air: “Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah boleh” (Abu Dawud dan An Nasa’i).
[3] Karena hadits Imran RA berkata, “Rasulullah saw. shalat bersama dengan kaum muslimin. Ketika usai shalat, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyendiri dan tidak ikut shalat bersama kaum muslimin. Nabi menegurnya: Mengapa kamu tidak shalat bersama kaum muslimin? Orang itu menjawab: Saya junub dan tidak ada air. Sabda Nabi: Kamu bisa gunakan tanah, itu cukup. Kemudian Imran menyebutkan bahwa setelah mereka menemukan air, Rasulullah memberikan air kepada orang yang junub tadi dengan mengatakan,’ bawalah dan gunakan mandi.” (Al-Bukhari).

Menyayangi Anak dan Menciuminya

ـ   عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال : أََخَذَ النَبٍي ـ صلى الله عليه وسلم ـ إبراهيم ، فَقَبَّلَهُ وشمَّهُ    رواه البخاري..

Dari Anas bin Malik RA berkata: Rasulullah saw menggendong Ibrahim dan menciuminya. (HR. Al Bukhari)

Ibnu Al Baththal berkata:

يَجوزُ تَقْبِيلَ الوَلَدِ الصغيرِ في كلِّ عَضُّو مِنْهُ ،وكذا الكبيرُ عند أكْثَرُِ العُلَماءِ ، مَالَ لَمْ يَكُنْ عَوْرِةُ ، فلا تُقَبِِلُ عورة الوَلَدِ

Diperbolehkan mencium anak kecil, di semua anggota badannya. Demikian juga orang dewasa –menurut mayoritas ulama-, kecuali auratnya. Maka tidak boleh hukumnya mencium aurat anak.

أخذ النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ إبراهيم

Rasulullah mengambil anaknya –Ibrahim- dari ibunya Mariyah Al Qibthiyah,
فَقَبَّلَه Mencium dengan mulutnya, وَشَمَّهُ mencium dengan hidungnya, sepertinya ia adalah   ُ رِيحانَة:  pengharumnya

Anak-anak itu diciumi serasa parfum – sepertinya. Rasulullah saw menerangkan dua cucunya Al Hasan dan Al Husain, dua putra Fatimah dengan kalimat:
هما ريحانتاي من الدنيا  Keduanya adalah keharumanku di dunia. (HR Al Bukhari dari Ibnu Umar RA)
Kalimat, ريحانتاي من الدنيا berarti bagian parfum duniawiku.

Itulah ciuman yang Rasulullah saw lakukan kepada cucunya, menunjukkan cinta dan kasih sayangnya.
Hadits ini menunjukkan cinta anak dan menciumnya.

2 ـ   عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه ـ قال : قبل رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ الحسن بن عليّ ، وعنده ـ الأقرع بن حابس التميمي ، جالساً ، فقال الأقرع : إن لي عشرة من الولد ما قبلت منهم أحداً ، فنظر إليه رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، ثم قال : ” من لا يرحم لا يرحم “  .رواه البخاري .

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah saw menciumi Al Hasan bin Ali, di hadapan Al Aqra’ bin Habis At Tamimiy yang sedang duduk. Lalu Al Aqra’ berkata: Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, dan aku belum pernah menciumi seorang pun. Lalu Rasulullah saw memandanginya dan bersabda: “Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi” (HR. Al Bukhari)

Penjelasan:

Rasulullah saw mencium Al Hasan bin Ali RA Putra Fathimah RA.
Al Hasan lahir pada tahun 2 (dua) Hijriyah.
Ketika itu Al Aqra’bin Habis At Tamimiy sedang duduk berada di hadapan Rasulullah saw. Ia seorang muallaf, sehingga Islamnya menjadi baik.
Rasulullah saw melihatnya dengan pandangan yang kurang menyenangkan karena ia tidak pernah mencium anaknya.

Kemudian Rasulullah saw bersabda, untuk merubah sikapnya terhadap anak-anaknya, sehingga anaknya merasakan kasih sayangnya dengan menciuminya.
من لا يرحم لا يرحم Barang siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi.
من لا يرحم لا يرحم Huruf ya pertama di baca fathah dan ya’ kedua dibaca dhammah. Boleh juga kedua ya’ dibaca rafa’ (huruf mim dibaca dhammah) dengan menstatuskan kata  “Man” sebagai isim Maushul. Atau keduanya dibaca jazm (mim dibaca sukun/mati) dan kata Man berstatus syarat. Namun pada umumnya para rawi membacanya dengan rafa’.

Jawaban Rasulullah kepada Al Aqra menunjukkan bahwa mencium anak itu bertujuan untuk menunjukkan kasih sayang dan perhatian, bukan kelezatan atau syahwat.
Kata “rahmat” kasih sayang dari sesama makhluk adalah kelembutan hati yang membuat seseorang memuliakan,  dan ihsan (berbuat baik). Rahmat dari sesama makhluk adalah termasuk dalam amal shalih, sedangkan rahmat dari Allah swt adalah balasan atas amal shalih yang dilakukan.

Sesungguhnya orang yang berfikir dan bersemangat untuk membuat kebaikan pada dirinya 
sendiri akan berusaha agar rasa kasih sayang itu menjadi akhlaq dan kepribadiannya, agar mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang sesama manusia. Barang siapa yang menyayangi ia akan disayangi, dan sebaliknya; barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak disayangi.
Dari hadits di atas dapat disimpulkan antara lain:
  1. Masyru’iyyah (disyariatkannya) mencium anak, dan hal ini adalah sunnah Nabi yang mulia.
  2. Orang yang tidak menyayangi sesama manusia dan makhluk hidup lainnya akan terhalang dari rahmat Allah, dan kasih sayang sesama manusia. Karena balasan itu serupa dengan amalnya.
  3. Orang yang menyayangi orang lain mendapatkan keberuntungan rahmat Allah dan kasih sayang sesama manusia yang akan menjadi penolong di kala sempit dan pembela pada saat yang dibutuhkan.

Tafsir Surat Al Kafirun

Surat Al-Kaafiruun merupakan surat Makkiyah yang terdiri dari enam ayat. Surat ini memutus keinginan orang-orang kafir dan menjelaskan perbedaan antara ibadah mereka dan ibadah Nabi SAW yang lebih luas.

 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿ ٦

Artinya:
1.  Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,
2.  Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3.  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.
4.  Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5.  Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
6.  Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Diriwayatkan bahwa setelah para pemimpin Quraisyberputus asa menghadapi Nabi, mereka mendatangi beliau. Mereka melihat adanya kebaikan dalam dakwah beliau namun mereka enggan mengikutinya karena kecintaan mereka bertaqlid buta. Mereka berkata, “Marilah, kami menyembah Tuhanmu untuk suatu masa dan kamu menyembah Tuhan kami untuk suatu masa. Dengan demikian ada perdamaian di antara kita dan permusuhan lenyap. Jika pada ibadah kami ada kebenaran Anda bisa mengambil sebagian dan jika pada ibadahmu ada kebenaran kami mengambilnya. Maka surat ini turun untuk membantah mereka dan memupus harapan mereka.

Syarah:

Ya Muhammad, katakan kepada orang-orang kafir yang tidak ada kebaikannya sedikit pun pada mereka dan tidak ada harapan untuk beriman. Katakan kepada mereka, aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Sebab kalian menyembah tuhan-tuhan yang kalian jadikan sebagai perantara kepada Allah yang Esa lagi Maha Perkasa. Kalian menyembah tuhan-tuhan yang kalian kira terwujud dalam bentuk patung atau berhala. Sedangkan aku menyembah Tuhan yang Esa, Satu, Tunggal, Tempat bergantung yang tidak perlu istri dan anak, tiada yang menyamai dan tiada pesaing. Tidak terwujud dalam fisik atau pribadi seseorang. Tidak membutuhkan perantara dan tidak ada yang mendekati-Nya melalui makhluk. Sarana yang mendekatkan seseorang kepada-Nya hanyalah ibadah. Jadi, antara apa yang aku sembah dan kalian sembah sangat berbeda. Maka aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah.

Hai orang-orang kafir yang mantap dengan kekafiran. Aku tidak menggunakan cara ibadah kalian dan kalian tidak menggunakan cara ibadahku. Ayat 2 dan 3 menunjukkan perbedaan antar kedua Tuhan yang disembah. Nabi menyembah Allah sedangkan mereka menyembah patung dan berhala berikut perantara lainnya. Sementara ayat 4 dan 5 menunjukkan perbedaan ungkapan. Ibadah Nabi itu murni dan tidak terkontaminasi oleh kesyirikan serta jauh dari ketidaktahuan tentang Tuhan yang disembah itu. Ibadah kalian penuh dengan kesyirikan juga tawasul tanpa usaha. Bagaimana mungkin kedua jenis ibadah ini bisa bertemu. Sebagian ulama berkata, membantah pengulangan pada surat ini. Pengertiannya, aku tidak menyembah apa yang kalian di masa lalu demikian pula kalian, tidak menyembah apa yang aku sembah. Jelas dan akhirnya sama.

Bagi kalian agama kalian termasuk dosanya kalian tanggung sendiri dan bagi kami agama kami, aku bertanggung jawab terhadap memikul bebannya. Kedua ungkapan untuk menguatkan ungkapan sebelumnya.

Mengembalikan "Fithrah" Peran Perempuan

Sumber: Eramuslim
Penulis: Ummu Arik (Aliya), Ibu rumah tangga, alumnus Universitas Padjadjaran Bandung

Melihat wanita menjadi sopir kendaraan umum busway misalnya, bukanlah pemandangan yang aneh. Jangan heran juga jika ada ibu-ibu mengayuh becak di sekitar anda. Pekerjaan-pekerjaan berat (baca: pekerjaan lelaki) tersebut tidak canggung dilakoni oleh wanita saat ini. Kebutuhan ekonomi yang mendesak dan ide pemberdayaan ekonomi perempuan yang didengung-dengungkan oleh kaum feminis telah menyihir wanita-wanita Indonesia untuk terjun langsung di sektor ekonomi.

Dengan dalih pemberdayaan ekonomi perempuan tidak hanya akan memberi keuntungan, tetapi juga memberi solusi dari persoalan keluarga termasuk masalah perekonomian negara, maka dicanangkanlah program pemberdayaan perempuan berdasarkan Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Tanggal 19 Desember 2000.

Benarkah dengan pemberdayaan ekonomi perempuan ini bisa memperbaiki ekonomi keluarga-keluarga Indonesia yang notabene hampir 50% nya ini berada dalam kemiskinan?
Program pemberdayaaan ekonomi perempuan tersebut telah menggeser peran perempuan sebagai ibu menjadi ‘kepala’ rumah tangga yang harus menafkahi keluarga. Hal ini terjadi lantaran diterapkannya sistem kapitalisme yang secara nyata menunjukkan perlakukan keji terhadap perempuan karena menilai perempuan sebagai komoditi yang layak dieksploitasi demi mendatangkan materi. Kapitalisme juga mengukur partisipasi perempuan dalam pembangunan bangsa hanya dari kontribusi materi.

 



Program-program pemberdayaan ekonomi perempuan yang digencarkan oleh pemerintah, hanya bersifat parsial dan tidak menyentuh akar permasalahan mengenai kemiskinan. Padahal kemiskinan merupakan persoalan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya persoalan perempuan. Terlebih lagi penyebab kemiskinan saat ini, sifatnya struktural akibat diterapkannya sistem kapitalis.

Lalu apa hasil yang sudah dirasakan oleh bangsa ini dengan dilakukannya program pemberdayaan ekonomi perempuan? Apakah sesuai dengan harapan ataukah sebaliknya?
Ide pemberdayaan perempuan telah menambah tingkat perceraian akibat ketimpangan ekonomi keluarga, rusaknya generasi akibat rendahnya perhatian orang tua khususnya ibu, meningkatnya single parent dan rendahnya keinginan untuk menikah karena ingin menjadi wanita karir atau TKW.

Mengembalikan Peran Perempuan dalam Islam

Allah Swt. telah memberi kedudukan mulia bagi perempuan dengan menetapkan mereka menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Itulah posisi terbaik bagi wanita, karena Allah Pencipta segenap makhluk sangat mengetahui apa yang terbaik bagi mereka.

Karena kewajiban utamanya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga, maka Islam memberi hak bagi perempuan untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Mereka tinggal di dalam rumah, tetapi mendapat pemenuhan kebutuhan hidupnya secara makruf (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 223).

Dalam sorotan Syariah, Islam sangat memperhatikan peran dan tugas ibu karena ibulah kunci lahirnya generasi tangguh yang akan melanjutkan peradaban yang lebih baik. Menjadi ibu berkualitas haruslah memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan ruhiyah yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah yang wajib menjalankan seluruh peran keibuan dalam rumah tangga dan meyakini semua itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt.

Hal ini akan mendorong para ibu untuk melaksanakan tugas dengan penuh keikhlasan semata mencari ridha-Nya. Ibu yang berkualitas juga harus memiliki kepribadian Islam. Maksudnya setiap tingkah laku dan cara berpikirnya selalu diarahkan oleh aturan-aturan Islam yang dilandasi oleh Iman.

Ketika peran ibu dan pengurusan rumah tangga diabaikan, maka akan terjadi kerusakan yang akan menimpa anak-anak, suami dan tentu saja ibu itu sendiri. Anak-anak tidak terawat dengan baik, keadaan ini akan memunculkan generasi yang lemah.

Rumah tangga pun tidak terurus, memicu percekcokan suami-istri. Rapuhnya institusi keluarga muslim yang akan menuju pada ambang kehancuran seperti yang dikehendaki demokrasi kapitalisme.
 
Program pemberdayaan perempuan yang diperjuangkan selama ini adalah alat yang telah merusak tatanan keluarga dan menambah permasalahan negeri ini. Perubahan lebih baik hanya bisa diwujudkan dengan Syariah dan Khilafah bukan dengan tetap kukuh dengan demokrasi. Wallahu a'lam.