Sumber: Hidayatullah
TIDAK terasa paham materialisme sepertinya telah menjadi ’kangker ganas’ yang tengah mengerogoti pola hidup masyarakat moderen saat ini. Segala sesuatu diukur dengan materi. Kekuatan, kemuliaan, kesenangan, kesuksesan, dan sebagainya, semua diukur dengan materi.
Hasil dari pola pikir macam ini, menyebabkan orang-orang memiliki hasrat tinggi untuk memiliki, menguasai, mengeruk keuntungan pribadi/kelompok, sebesar-besarnya, tanpa harus memikirkan, mempedulikan nasib orang lain. Kasus merebaknya praktek KKN di negeri ini adalah salah satu buah yang dihasilkan dari faham materialisme ini.
Karena ulah faham ini pula, seseorang akan enggan membantu atau pun berkorban untuk orang lain. Kalau pun mereka bisa, maka setidak-tidaknya harus ada imbalan balik yang harus mereka tererima sebagai konsekwensi dari pemberian yang mereka salurkan.
Maka tidak mengherankan kalau kita dapati beberapa tahun silam, pasca pemilihan umum, terdapat calon anggota dewan yang mengambil kembali sumbangannya di masyarakat, karena di waktu pemelihan tersebut, masyarakat sekitar tidak memilih dia sebagai calon wakil rakyat. Sungguh memprihatinkan dan memalukan.
Jadi, setidaknya faham materialisme telah melahirkan tabi’at buruk bagi manusia, yaitu sifat egois, indifidualis serta anti-pati terhadap urusan orang lain. Padahal sejatinya justru tiga hal ini lah yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang kehinaan sedalam-dalamnya.
Kasus Fir’aun yang membunuhi bayi-bayi laki-laki dari Bani Isro’il karena khawatir posisinya sebagai raja akan digantikan oleh salah seorang pemuda dari mereka adalah bukti otentik sejarah, betapa rumus kemuliaan dengan sistem demikian ini tidak lah benar. Dan akhirnya dia (Fir’aun) pun akhirnya mati dengan kehinaan, ditenggelamkan di tengah-tengah laut, serta (secara tidak langsung) telah menobatkan dirinya sendiri sebagai simbol kebengisan, kekejaman, serta kecongkaan di muka bumi ini.
Sebaliknya, dengan menyuburkan rasa simpati dan empati terhadap sesama, akan menggoreskan nama kita sebagai pribadi yang mulia di mata manusia lebih-lebih di mata Allah, Tuhan alam semesta.
”Tangan di atas lebih baik (mulia) dari pada tangan di bawah” adalah rumus kehidupan yang diberikan Nabi untuk umatnya agar mereka mampu merengguh kemuliaan. Semakin sering kita mengulurkan tangan untuk meringankan orang lain, berarti kita semakin ’memoles diri’ untuk menjadi pribadi yang mulia, yang disenangi serta dikenang oleh masyarakat luas.
Makna lain dari rumus di atas, untuk meraih kemuliaan kita harus rela berkorban. Lebih mementingkan kepentingan umum dari urusan pribadi (terkecuali dalam urusan ibadah). Karakter macam ini pula yang telah menjadikan para sahabat Rosulullah hidup mulia dan bermartabat di masanya. Mereka saling berlomba-lomba untuk memberi, berkorban untuk orang lain. Tidak hanya harta yang menjadi taruhannya, bahkan jiwa pun mereka rela pasang demi membantu saudara-saudara mereka yang tengah membutuhkan.
Abu Bakar rela menyerahkan seluruh hartanya demi kejayaan Islam. Begitu pula dengan Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ’Auf, dan sebagainya. Mereka berlomba-lomba untuk mengorbankan apa yang mereka miliki demi kepentingan umum, laksana mereka tengah berebut barang rampasan ghonimah sebagaiman yang terjadi pada perang Uhud.
Dalam kondisi demikian, maka tidak salah dalam suatu kesempatan Rosulullah pernah menjelaskan dalam sabdanya, bahwa sebaik-baik masa adalah masa di mana beliau masih hidup, kemudian masa berikutnya, dan kemudian masa berikutnya.
Dalam al-Quran surah al-Fathir ayat 10, Allah SWT juga menegaskan tentang hakekat kemuliaan; "Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras dan rencana jahat mereka akan hancur."
Terkait ayat di atas Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, pernah menerangkan bahwa hakekat kemuliaan itu adalah seseorang bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, serta kesungguhan dalam berbuat kebaikan, kejujuran dan amanah, dan keberpihakan pada kemaslahatan bersama. (www.republika.co.id/Kamis, 27 Oktober 2011).
Memelihara Sepirit
Saat ini kita masih berada pada bulan Dzulhijjah, bulan yang mulia. Banyak peristiwa yang terjadi pada bulan ini yang bisa kita jadikan teladan untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya. Salah satunya adalah ghirah mengorbankan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan umum. Pada bulan ini, Nabi Ibrohim telah mampu mengalahkan sifat egoismenya sebagai seorang bapak, demi mentaati perintah Allah. Beliau kalahkan cintanya ke pada anak semata wayangnya, demi lebih mentaati perintah Allah, yaitu menyembelih putranya, Ismail, yang kemudian Allah ganti dengan seekor lembu. Karena ketaatan beliau inilah, Allah kemudian memuliakan Nabi Ibrohim beserta keturunan-keturunannya. Beliau tidak hanya digelari sebagai nabi ’Ulul Azami’, namun beliau juga mendapat ’lebel’ sebagai bapaknya para nabi ’Abu Al-Anbiyak’
Kita patut bersyukur, sebagian kaum muslimin saat ini masih mewarisi semangat berkorban Nabi Ibrohim. Puluhan ribu jamaah haji Indonesia telah pergi ke tanah suci demi memenuhi panggilan Allah. Mereka sampingkan urusan keluarga, bisnis, dan sebagainya, demi menjawab seruan-Nya. Resiko terburuk, yaitu kematian, karena berada di tengah lautan manusia yang sedang melaksanakan ibadah haji, pun mereka tepis demi menbjawab seruan Allah. Subhanallah!
Dan bagi mereka yang belum memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, namun memiliki kemampuan untuk berkurban, mereka pun tidak kalah saing. Mereka sisihkan sebagian rizki mereka demi mentaati titah Allah untuk menyembelih binatang kurban. Entah berapa ribu ekor kambing/domba dan sapi yang disembelih pada bulan Dzulhijjah tahun ini.
Intinya, poin yang bisa kita ambil, volume minat berkorban kaum Muslimin terhadap apa yang mereka miliki, mengalami peningkatan pada bulan Dzulhijjah ini. Seharusnya, semangat macam ini senantiasa kita rawat dan menjadi salah satu karakter kepribadian kita sebagai pribadi mukmin, bukan hanya bersifat eksidentil. Dengan demikian, kita berharap, kemuliaan ummat ini bisa terjaga karena budaya memberi, menolong, berkorban sebanyak-banyak untuk orang lain benar-benar telah mengakar dalam setiap diri kita, sebagaimana yang telah terjadi di masa Rosulullah dahulu.
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Alloh akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Alloh akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim).
Hasil dari pola pikir macam ini, menyebabkan orang-orang memiliki hasrat tinggi untuk memiliki, menguasai, mengeruk keuntungan pribadi/kelompok, sebesar-besarnya, tanpa harus memikirkan, mempedulikan nasib orang lain. Kasus merebaknya praktek KKN di negeri ini adalah salah satu buah yang dihasilkan dari faham materialisme ini.
Karena ulah faham ini pula, seseorang akan enggan membantu atau pun berkorban untuk orang lain. Kalau pun mereka bisa, maka setidak-tidaknya harus ada imbalan balik yang harus mereka tererima sebagai konsekwensi dari pemberian yang mereka salurkan.
Maka tidak mengherankan kalau kita dapati beberapa tahun silam, pasca pemilihan umum, terdapat calon anggota dewan yang mengambil kembali sumbangannya di masyarakat, karena di waktu pemelihan tersebut, masyarakat sekitar tidak memilih dia sebagai calon wakil rakyat. Sungguh memprihatinkan dan memalukan.
Jadi, setidaknya faham materialisme telah melahirkan tabi’at buruk bagi manusia, yaitu sifat egois, indifidualis serta anti-pati terhadap urusan orang lain. Padahal sejatinya justru tiga hal ini lah yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang kehinaan sedalam-dalamnya.
Kasus Fir’aun yang membunuhi bayi-bayi laki-laki dari Bani Isro’il karena khawatir posisinya sebagai raja akan digantikan oleh salah seorang pemuda dari mereka adalah bukti otentik sejarah, betapa rumus kemuliaan dengan sistem demikian ini tidak lah benar. Dan akhirnya dia (Fir’aun) pun akhirnya mati dengan kehinaan, ditenggelamkan di tengah-tengah laut, serta (secara tidak langsung) telah menobatkan dirinya sendiri sebagai simbol kebengisan, kekejaman, serta kecongkaan di muka bumi ini.
Sebaliknya, dengan menyuburkan rasa simpati dan empati terhadap sesama, akan menggoreskan nama kita sebagai pribadi yang mulia di mata manusia lebih-lebih di mata Allah, Tuhan alam semesta.
”Tangan di atas lebih baik (mulia) dari pada tangan di bawah” adalah rumus kehidupan yang diberikan Nabi untuk umatnya agar mereka mampu merengguh kemuliaan. Semakin sering kita mengulurkan tangan untuk meringankan orang lain, berarti kita semakin ’memoles diri’ untuk menjadi pribadi yang mulia, yang disenangi serta dikenang oleh masyarakat luas.
Makna lain dari rumus di atas, untuk meraih kemuliaan kita harus rela berkorban. Lebih mementingkan kepentingan umum dari urusan pribadi (terkecuali dalam urusan ibadah). Karakter macam ini pula yang telah menjadikan para sahabat Rosulullah hidup mulia dan bermartabat di masanya. Mereka saling berlomba-lomba untuk memberi, berkorban untuk orang lain. Tidak hanya harta yang menjadi taruhannya, bahkan jiwa pun mereka rela pasang demi membantu saudara-saudara mereka yang tengah membutuhkan.
Abu Bakar rela menyerahkan seluruh hartanya demi kejayaan Islam. Begitu pula dengan Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ’Auf, dan sebagainya. Mereka berlomba-lomba untuk mengorbankan apa yang mereka miliki demi kepentingan umum, laksana mereka tengah berebut barang rampasan ghonimah sebagaiman yang terjadi pada perang Uhud.
Dalam kondisi demikian, maka tidak salah dalam suatu kesempatan Rosulullah pernah menjelaskan dalam sabdanya, bahwa sebaik-baik masa adalah masa di mana beliau masih hidup, kemudian masa berikutnya, dan kemudian masa berikutnya.
Dalam al-Quran surah al-Fathir ayat 10, Allah SWT juga menegaskan tentang hakekat kemuliaan; "Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras dan rencana jahat mereka akan hancur."
Terkait ayat di atas Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, pernah menerangkan bahwa hakekat kemuliaan itu adalah seseorang bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, serta kesungguhan dalam berbuat kebaikan, kejujuran dan amanah, dan keberpihakan pada kemaslahatan bersama. (www.republika.co.id/Kamis, 27 Oktober 2011).
Memelihara Sepirit
Saat ini kita masih berada pada bulan Dzulhijjah, bulan yang mulia. Banyak peristiwa yang terjadi pada bulan ini yang bisa kita jadikan teladan untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya. Salah satunya adalah ghirah mengorbankan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan umum. Pada bulan ini, Nabi Ibrohim telah mampu mengalahkan sifat egoismenya sebagai seorang bapak, demi mentaati perintah Allah. Beliau kalahkan cintanya ke pada anak semata wayangnya, demi lebih mentaati perintah Allah, yaitu menyembelih putranya, Ismail, yang kemudian Allah ganti dengan seekor lembu. Karena ketaatan beliau inilah, Allah kemudian memuliakan Nabi Ibrohim beserta keturunan-keturunannya. Beliau tidak hanya digelari sebagai nabi ’Ulul Azami’, namun beliau juga mendapat ’lebel’ sebagai bapaknya para nabi ’Abu Al-Anbiyak’
Kita patut bersyukur, sebagian kaum muslimin saat ini masih mewarisi semangat berkorban Nabi Ibrohim. Puluhan ribu jamaah haji Indonesia telah pergi ke tanah suci demi memenuhi panggilan Allah. Mereka sampingkan urusan keluarga, bisnis, dan sebagainya, demi menjawab seruan-Nya. Resiko terburuk, yaitu kematian, karena berada di tengah lautan manusia yang sedang melaksanakan ibadah haji, pun mereka tepis demi menbjawab seruan Allah. Subhanallah!
Dan bagi mereka yang belum memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, namun memiliki kemampuan untuk berkurban, mereka pun tidak kalah saing. Mereka sisihkan sebagian rizki mereka demi mentaati titah Allah untuk menyembelih binatang kurban. Entah berapa ribu ekor kambing/domba dan sapi yang disembelih pada bulan Dzulhijjah tahun ini.
Intinya, poin yang bisa kita ambil, volume minat berkorban kaum Muslimin terhadap apa yang mereka miliki, mengalami peningkatan pada bulan Dzulhijjah ini. Seharusnya, semangat macam ini senantiasa kita rawat dan menjadi salah satu karakter kepribadian kita sebagai pribadi mukmin, bukan hanya bersifat eksidentil. Dengan demikian, kita berharap, kemuliaan ummat ini bisa terjaga karena budaya memberi, menolong, berkorban sebanyak-banyak untuk orang lain benar-benar telah mengakar dalam setiap diri kita, sebagaimana yang telah terjadi di masa Rosulullah dahulu.
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Alloh akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Alloh akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim).
Karena itu jangan pelit berkorban untuk sesama. Ini semata-mata agar kita juga dapat dimudahkan dan mendapat kemuliaan. */Robinsah, penulis adalah anggota Asosiasi Penulis Islam (API)