Oleh : Herry Nurdi
Berhadapan dengan seseorang atau sekelompok manusia yang melakukan kesalahan adalah, agar mereka mau menerima nasihat dan memperbaiki diri. Tapi banyak di antara kasus yang terjadi di sekeliling kita, ketika bertemu dengan seseorang yang melakukan kesalahan, justru target utamanya adalah membuat mereka merasa bersalah dan terpojokkan. Maka janganlah heran jika kita menemukan orang dan banyak kelompok menerapkan strategi untuk membela diri, mencari berjuta kilah, dan jika perlu memutarbalikkan fakta. Karena, sangatlah manusiawi, manusia tak ada yang mau dipersalahkan, apalagi dituding sebagai bertanggung jawab atas segala kekacauan.
Karena itu, dalam banyak kasus pemberian nasihat dan menegur kesalahan, Rasulullah menerapkan target bukan pengakuan kesalahan dari yang bersangkutan. Tapi kejujuran perasaan, penerimaan nasihat, dan perbaikan diri menuju kondisi yang lebih baik lagi.
Sampai hari ini saya masih belajar dengan keras, bagaimana caranya mengendalikan diri. Terutama ketika marah dan tidak senang hati. Pada anak-anak dan istri, pada teman-teman sejawat yang saya koordinatori, kepada pengendara sepeda motor yang seolah punya jalan sendiri, kepada banyak hal.
Kadang saya merasa marah dan tidak ridha hati, padahal masalahnya kecil sekali. Lalu kemarahan kecil itu, merembet, melebar, meluas, menjalar. Tak hanya satu nama yang disebut, tapi bertambah dua. Kemudian tiga, kemudian banyak yang disalahkan. Setelah reda, biasanya saya menyesal. Istighfar berulang-ulang.
Saya pernah membaca kisah tentang seorang Badui di zaman Rasulullah tercinta. Tapi mohon dimaafkan, saya lupa namanya, tapi saya ingat betul kisahnya. Tokoh kita ini, rumahnya jauh dari Madinah, dan sesekali saja berjumpa Rasulullah untuk mempelajari agamanya. Suatu ketika, ia belajar dari Rasulullah tentang kalimat yang diucapkan ketika seorang saudaranya bersin. ”Alhamdulillah,” yang bersin berkata demikian.
Lalu dijawab oleh yang mendengar, ”Yarhamukumullah.” Kemudian yang didoakan menjawab ulang, ”Yahdikumullah.” Begitulah agama ini, penuh doa-doa yang menggembirakan hati.
Singkat cerita, untuk beberapa waktu lamanya, si fulan dari suku Badui Arab ini tak berkunjung ke Madinah dan menemui Rasulullah tercinta. Suatu hari, ia berkunjung ke Madinah dan mendapat Rasulullah dengan para sahabat sedang menunaikan shalat. Lalu ia pun bergabung menunaikan shalat yang sama.
Di tengah-tengah shalat, ada salah seorang jamaah yang bersin. Tapi sang tokoh kita mendapati tak satu pun yang berkata Alhamdulillah dan menjawab seperti yang pernah ia dengar dari ajaran Rasulullah. Lalu dengan semangat ia mengingatkan, agar yang bersin melafazhkan hamdalah. Tapi semua dalam kondisi shalat, dan mata para jamaah memandangnya, seolah-olah melontarkan teguran bahwa ia bersalah. Dan memang, faktanya ia telah bersalah dengan bersuara di dalam shalat.
Setelah shalat, Rasulullah membalikkan tubuh dan bertanya, suara siapakah gerangan yang berkata-kata di dalam shalatnya. Biasanya, Rasulullah selalu mengenali suara-suara para sahabatnya. Tapi karena tokoh kita yang satu ini jarang bertemu dan hanya sesekali datang ke Madinah, Rasulullah pun tak terlalu hapal pada suaranya.
Ketika Rasulullah bertanya, tokoh kita ini, merasa bakal mendapat marah besar karena telah mengganggu shalat dan melakukan kesalahan. Dia sudah membayangkan hal-hal yang bukan-bukan. Tentang kemarahan Rasulullah, tentang hukuman yang akan diterimanya, tentang pandangan-pandangan semua orang atas dirinya. Tentang banyak hal.
Tapi rupanya, semua yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Rasulullah hanya berkata, ”Tidak ada bacaan lain dalam shalat kecuali yang sudah ditentukan.” Dan seketika si fulan mengerti tentang kesalahan yang dibuatnya. Dan kegundahannya akan kemungkinan-kemungkinan hukuman yang ada di dalam dadanya, sirna seketika. Rasulullah memberikan teguran secukupnya, sekadarnya, karena Rasulullah mengerti yang melakukan kesalahan memang baru belajar dan banyak lagi yang perlu dipahami.
Saya selalu malu mengingat riwayat ini, karena seringkali saya tak secukupnya, tak sewajarnya, berlebihan dan tak mampu menahan kemarahan. Padahal marah pada orang yang salah, menegur seseorang yang alpa, tujuan besarnya adalah menasihati agar kembali pada jalan kebaikan dan kebenaran. Tapi ketika kita justru marah panjang kali lebar kali tinggi, barangkali pesan yang sesungguhnya ingin kita sampaikan tak pernah masuk ke hati.
Belum lagi jika yang dipersalahkan membela diri, melakukan perlawanan, memberikan argumentasi-argumentasi tandingan, maka yang lahir kemudian adalah perdebatan, saling bantah, dan bisa jadi tukar pukul dan baku hantam. Maka, keduanya bertambah jauh dari kebaikan dan kebenaran.
Semoga Allah mengampuni saya, yang sering kali berlebihan ketika marah. Astaghfirullah hal Adzim. Dan semoga Allah memberi kekuatan kepada saya, ketika kemarahan-kemarahan mengirimkan hasutan pada hati dan akal untuk berlaku berlebihan. Laa haula walaa quwwata illa billah. Dan semoga Allah senantiasa menjaga saya, selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran. Amin ya Rabbal Alamin.