Sumber : Hidayatullah.com
Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka
Oleh Mohammad Fauzil Adhim*
TIDAK ada anak yang bandel. Kitalah yang tidak tahu bagaimana mengajak bicara, menyemangati, dan memberikan arah hidup bagi mereka. Kitalah yang lupa untuk bermain bersama, bercanda, dan bercerita agar hati mereka dekat dengan kita. Padahal kita tahu kedekatan hati itulah yang membuat anak akan mendengar kata-kata kita.
Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka. Setiap anak–asal normal—lahir dalam keadaan jenius dan penuh rasa ingin tahu. Kitalah yang mematikannya dengan hadiah-hadiah, bahkan di saat mereka tidak menginginkannya.
Kita lupa bahwa anak-anak pada awalnya tidak memerlukan hadiah untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tanpa hadiah, anak-anak tetap bersemangat belajar merangkak dan berjalan, meski harus beberapa kali tersungkur.
Anak-anak tidak pernah meminta uang untuk satu kosa kata baru yang mereka kuasai di waktu kecil. Mereka belajar karena ingin tahu. Mereka melakukan hal-hal besar yang bermanfaat karena bersemangat. Bukan karena menghindari hukuman. Bukan juga untuk mengharap imbalan.
Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat semangatnya menyala-nyala sesudah kita berkali-kali mematikannya? Apa yang bisa kita perbuat agar anak-anak memiliki semangat berkobar-kobar?
Kasih Sayang
Mari kita lihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepanjang yang saya ketahui (ingatkan kalau keliru), Rasulullah tidak menggunakan dinar dan dirham untuk merangsang anak-anak berbuat baik. Tetapi anak-anak itu bersemangat karena Rasulullah memberi perhatian dan waktunya untuk menggembirakan hati. Rasulullah bercanda, bermain-main, bersikap lemah lembut, dan melimpahkan cinta kasih yang tulus kepada anak-anak.
Pernah Rasulullah menggendong cucunya, Umamah putri Zainab. Padahal ketika itu beliau sedang shalat.
Abu Qatadah berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah SAW, sedangkan Umamah binti Abi Al-Ash berada di atas bahu Rasulullah (digendong). Lalu beliau shalat. Ketika beliau rukuk, maka Umamah diletakkan, dan ketika beliau bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat.” (Riwayat Bukhari)
Sebuah pelajaran penting tentang betapa besar nilai kasih sayang bagi proses pendidikan (tarbiyah) dan pembentukan karakter anak-anak (ta’dib). Begitu pentingnya, sehingga saat shalat pun diizinkan untuk menggendong anak yang masih kecil agar hilang rasa susahnya dan gembira hatinya.
Betapa besar nilai kedekatan kita dengan anak-anak bagi proses penanaman nilai tauhid dan pembentukan sikap religius, sehingga Rasulullah pun pernah memendekkan shalatnya karena terdengar tangisan anak. Sayangnya hari ini, hanya karena kita tidak bisa shalat dengan khusyuk, anak-anak kita halau dari masjid dan tempat kita shalat.
Kita suruh anak-anak pergi jauh-jauh hanya karena mereka bergembira di masjid; berteriak-teriak, berlarian ke sana kemari, dan menirukan gerakan shalat kita dengan antusias dan jenaka. Kita larang anak-anak kecil masuk masjid karena tidak ingin mendengar tangisnya. Kita lupa bahwa Rasulullah memendekkan shalatnya bukan karena terganggu tangis anak-anak, tetapi agar ibu anak itu tidak risau. Sungguh, sangat berbeda akibatnya dalam tindakan jika kita salah menyimpulkan.
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW berkata, “Aku mulai shalat dan ingin memanjang shalatku. Tiba-tiba aku mendengar tangis bayi, sehingga aku pendekkan shalatku, karena aku tahu bahwa ibunya sedih mendengar tangis bayinya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Qatadah meriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda, “Ketika shalat, aku bermaksud memanjangkan bacaan. Tiba-tiba aku mendengar tangis bayi, lalu aku pendekkan shalatku khawatir akan memberatkan ibunya.” (Riwayat Bukhari)
Rasulullah memilih untuk memendekkan shalatnya. Bukan melarang ibu tersebut membawa anaknya ke masjid di waktu-waktu berikutnya. Sungguh, ributnya anak-anak saat kita sedang shalat jauh lebih baik daripada jauhnya hati mereka dari agama Allah yang haq ini.
Alangkah mulia Nabi, dan alangkah jauh kita yang hidup sekarang ini. Saya ingin berbicara tentang ini lebih panjang lagi, tetapi saya harus kembali pada perbincangan di awal. Bukan dinar, bukan dirham, dan bukan pula hadiah-hadiah yang membuat anak-anak bersemangat. Tetapi kedekatan hati.
Bahagiakanlah, Muliakanlah
Bahagiakanlah mereka, insya Allah di dada mereka akan ada semangat yang menyala-nyala.
Muliakanlah, insya Allah mereka akan memuliakan dan mendengar kata-kata kita.
Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hati diciptakan dengan karakter yang mencintai orang yang memuliakannya dan membenci orang yang menghinakannya.”
Kita bisa belajar dari nasihat Ibnu Mas’ud. Pertama, muliakanlah anak dan bahagiakan mereka, niscaya mereka akan memuliakan kita, mendengar kata-kata kita, dan mengarahkan dirinya untuk menjadi seperti “yang seharusnya”. Bagaimana seharusnya mereka, sangat berkait dengan apa yang kita ajarkan kepada mereka.
Kedua, kenalkanlah kemuliaan Allah, sifat pemurah, dan keagungan Allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, insya Allah mereka akan lebih dekat hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan membebani dengan perintah-perintah untuk tunduk kepada-Nya agar mereka disayang dan doa-doa dikabulkan. Sebab, manusia cenderung memuliakan yang memuliakannya. Bukan mengagungkan kepada yang membalasi kebaikannya.
Bukankah Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Menciptakan dan Yang Maha Pemurah pada firman-Nya yang pertama kali turun? “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘Alaq: 1-5)
Alhasil, ketika anak-anak kita ajari berdoa, mereka yakin bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak sia-sia berdoa kepada Yang Maha Baik. Justru karena mengetahui Allah Maha Pemurah, insya Allah mereka lebih sungguh-sungguh berharap dan meminta.
Sayangnya, selama ini kita lebih sering memperkenalkan Allah dengan cara yang menyeramkan. Kita ajari mereka berbuat baik dan berdoa seolah-olah Allah tidak akan menurunkan rahmat dan nikmat-Nya kecuali setelah kita berbuat baik. Lalu, bagaimana mungkin kita berharap mereka menjadi orang-orang yang bersyukur dan bersungguh-sungguh mengelola hidupnya jika cara awal kita sudah salah?
Astaghfirullahal-‘adziim. Agaknya, banyak sekali kesalahan yang kita lakukan terhadap anak-anak. Agaknya kita perlu meminta keikhlasan mereka untuk memaafkan dan memperbaiki cara kita mendidik, agar kelak mereka tak menyesal mempunyai orangtua seperti kita.
Waktu, Bukan Uang!
Saya teringat ucapan Garry Martin dan Grayson Osborne. Psikolog dan penulis buku Psychology Adjustment and Everyday Living ini berkata, “Manfaatkanlah waktu yang ada. Pertama, janganlah mempunyai anak bila Anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika Anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang Anda setujui dari tingkah laku anak-anak Anda. Jauh lebih baik lagi jika Anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.”
Ya......, waktu! Bukan uang. Bukan benda-benda. Waktu untuk memberi perhatian, berbincang bersama, memberi kehangatan, bercanda, waktu untuk menyampaikan pesan dengan cara yang bersahabat dan penuh kehangatan, serta waktu untuk bermain dan bersujud bersama.
Inilah yang diberikan oleh Rasulullah kepada anak-anak. Rasulullah bercanda, bermain kuda-kudaan, dan memberi julukan-julukan yang baik kepada anak. Inilah yang membuat anak-anak di masa itu tumbuh sebagai pribadi penuh percaya diri dan bersemangat tinggi.
Selebihnya, kita bisa memberikan hadiah kepada anak-anak bukan sebagai perangsang agar berbuat baik, melainkan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang. Ini berarti menuntut cinta tanpa syarat. Kita berikan hadiah kepada anak-anak secara adil dan merata, sehingga mereka merasakan betapa orangtuanya sangat pemurah dan memuliakan. Kita beri hadiah karena mencintainya, bukan imbalan atas apa yang mereka kerjakan.
Jika kita berikan hadiah karena mereka berbuat baik, lalu mana yang menunjukkan tulusnya cinta kita kepada mereka? Atas dasar apa kita menuntut yang lebih dari mereka? Bukankah pemberian kita merupakan harga yang pas atas tindakan mereka?
Astaghfirullahal-‘adziim. Alangkah banyak kekeliruan kita. Alangkah sedikit ilmu yang kita siapkan untuk membangun satu generasi. Padahal dari generasi itu, barangkali akan menentukan karakter generasi berikutnya hingga beratus tahun sesudah kita tiada.
Ya Allah, ampunilah kami yang tak memiliki bekal apa-apa untuk menjadi orangtua.
Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dengan memberikan kemuliaan kepada mereka.
Nak, maafkanlah bapakmu ini. Bersabarlah atas kebodohan dan kezhaliman orangtua kalian. Semoga kelak Allah meninggikan derajatmu dan memuliakanmu dengan surga-Nya yang tertinggi. Allahumma amin.
Oleh Mohammad Fauzil Adhim*
TIDAK ada anak yang bandel. Kitalah yang tidak tahu bagaimana mengajak bicara, menyemangati, dan memberikan arah hidup bagi mereka. Kitalah yang lupa untuk bermain bersama, bercanda, dan bercerita agar hati mereka dekat dengan kita. Padahal kita tahu kedekatan hati itulah yang membuat anak akan mendengar kata-kata kita.
Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka. Setiap anak–asal normal—lahir dalam keadaan jenius dan penuh rasa ingin tahu. Kitalah yang mematikannya dengan hadiah-hadiah, bahkan di saat mereka tidak menginginkannya.
Kita lupa bahwa anak-anak pada awalnya tidak memerlukan hadiah untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tanpa hadiah, anak-anak tetap bersemangat belajar merangkak dan berjalan, meski harus beberapa kali tersungkur.
Anak-anak tidak pernah meminta uang untuk satu kosa kata baru yang mereka kuasai di waktu kecil. Mereka belajar karena ingin tahu. Mereka melakukan hal-hal besar yang bermanfaat karena bersemangat. Bukan karena menghindari hukuman. Bukan juga untuk mengharap imbalan.
Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat semangatnya menyala-nyala sesudah kita berkali-kali mematikannya? Apa yang bisa kita perbuat agar anak-anak memiliki semangat berkobar-kobar?
Kasih Sayang
Mari kita lihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepanjang yang saya ketahui (ingatkan kalau keliru), Rasulullah tidak menggunakan dinar dan dirham untuk merangsang anak-anak berbuat baik. Tetapi anak-anak itu bersemangat karena Rasulullah memberi perhatian dan waktunya untuk menggembirakan hati. Rasulullah bercanda, bermain-main, bersikap lemah lembut, dan melimpahkan cinta kasih yang tulus kepada anak-anak.
Pernah Rasulullah menggendong cucunya, Umamah putri Zainab. Padahal ketika itu beliau sedang shalat.
Abu Qatadah berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah SAW, sedangkan Umamah binti Abi Al-Ash berada di atas bahu Rasulullah (digendong). Lalu beliau shalat. Ketika beliau rukuk, maka Umamah diletakkan, dan ketika beliau bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat.” (Riwayat Bukhari)
Sebuah pelajaran penting tentang betapa besar nilai kasih sayang bagi proses pendidikan (tarbiyah) dan pembentukan karakter anak-anak (ta’dib). Begitu pentingnya, sehingga saat shalat pun diizinkan untuk menggendong anak yang masih kecil agar hilang rasa susahnya dan gembira hatinya.
Betapa besar nilai kedekatan kita dengan anak-anak bagi proses penanaman nilai tauhid dan pembentukan sikap religius, sehingga Rasulullah pun pernah memendekkan shalatnya karena terdengar tangisan anak. Sayangnya hari ini, hanya karena kita tidak bisa shalat dengan khusyuk, anak-anak kita halau dari masjid dan tempat kita shalat.
Kita suruh anak-anak pergi jauh-jauh hanya karena mereka bergembira di masjid; berteriak-teriak, berlarian ke sana kemari, dan menirukan gerakan shalat kita dengan antusias dan jenaka. Kita larang anak-anak kecil masuk masjid karena tidak ingin mendengar tangisnya. Kita lupa bahwa Rasulullah memendekkan shalatnya bukan karena terganggu tangis anak-anak, tetapi agar ibu anak itu tidak risau. Sungguh, sangat berbeda akibatnya dalam tindakan jika kita salah menyimpulkan.
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW berkata, “Aku mulai shalat dan ingin memanjang shalatku. Tiba-tiba aku mendengar tangis bayi, sehingga aku pendekkan shalatku, karena aku tahu bahwa ibunya sedih mendengar tangis bayinya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Qatadah meriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda, “Ketika shalat, aku bermaksud memanjangkan bacaan. Tiba-tiba aku mendengar tangis bayi, lalu aku pendekkan shalatku khawatir akan memberatkan ibunya.” (Riwayat Bukhari)
Rasulullah memilih untuk memendekkan shalatnya. Bukan melarang ibu tersebut membawa anaknya ke masjid di waktu-waktu berikutnya. Sungguh, ributnya anak-anak saat kita sedang shalat jauh lebih baik daripada jauhnya hati mereka dari agama Allah yang haq ini.
Alangkah mulia Nabi, dan alangkah jauh kita yang hidup sekarang ini. Saya ingin berbicara tentang ini lebih panjang lagi, tetapi saya harus kembali pada perbincangan di awal. Bukan dinar, bukan dirham, dan bukan pula hadiah-hadiah yang membuat anak-anak bersemangat. Tetapi kedekatan hati.
Bahagiakanlah, Muliakanlah
Bahagiakanlah mereka, insya Allah di dada mereka akan ada semangat yang menyala-nyala.
Muliakanlah, insya Allah mereka akan memuliakan dan mendengar kata-kata kita.
Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hati diciptakan dengan karakter yang mencintai orang yang memuliakannya dan membenci orang yang menghinakannya.”
Kita bisa belajar dari nasihat Ibnu Mas’ud. Pertama, muliakanlah anak dan bahagiakan mereka, niscaya mereka akan memuliakan kita, mendengar kata-kata kita, dan mengarahkan dirinya untuk menjadi seperti “yang seharusnya”. Bagaimana seharusnya mereka, sangat berkait dengan apa yang kita ajarkan kepada mereka.
Kedua, kenalkanlah kemuliaan Allah, sifat pemurah, dan keagungan Allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, insya Allah mereka akan lebih dekat hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan membebani dengan perintah-perintah untuk tunduk kepada-Nya agar mereka disayang dan doa-doa dikabulkan. Sebab, manusia cenderung memuliakan yang memuliakannya. Bukan mengagungkan kepada yang membalasi kebaikannya.
Bukankah Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Menciptakan dan Yang Maha Pemurah pada firman-Nya yang pertama kali turun? “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘Alaq: 1-5)
Alhasil, ketika anak-anak kita ajari berdoa, mereka yakin bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak sia-sia berdoa kepada Yang Maha Baik. Justru karena mengetahui Allah Maha Pemurah, insya Allah mereka lebih sungguh-sungguh berharap dan meminta.
Sayangnya, selama ini kita lebih sering memperkenalkan Allah dengan cara yang menyeramkan. Kita ajari mereka berbuat baik dan berdoa seolah-olah Allah tidak akan menurunkan rahmat dan nikmat-Nya kecuali setelah kita berbuat baik. Lalu, bagaimana mungkin kita berharap mereka menjadi orang-orang yang bersyukur dan bersungguh-sungguh mengelola hidupnya jika cara awal kita sudah salah?
Astaghfirullahal-‘adziim. Agaknya, banyak sekali kesalahan yang kita lakukan terhadap anak-anak. Agaknya kita perlu meminta keikhlasan mereka untuk memaafkan dan memperbaiki cara kita mendidik, agar kelak mereka tak menyesal mempunyai orangtua seperti kita.
Waktu, Bukan Uang!
Saya teringat ucapan Garry Martin dan Grayson Osborne. Psikolog dan penulis buku Psychology Adjustment and Everyday Living ini berkata, “Manfaatkanlah waktu yang ada. Pertama, janganlah mempunyai anak bila Anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika Anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang Anda setujui dari tingkah laku anak-anak Anda. Jauh lebih baik lagi jika Anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.”
Ya......, waktu! Bukan uang. Bukan benda-benda. Waktu untuk memberi perhatian, berbincang bersama, memberi kehangatan, bercanda, waktu untuk menyampaikan pesan dengan cara yang bersahabat dan penuh kehangatan, serta waktu untuk bermain dan bersujud bersama.
Inilah yang diberikan oleh Rasulullah kepada anak-anak. Rasulullah bercanda, bermain kuda-kudaan, dan memberi julukan-julukan yang baik kepada anak. Inilah yang membuat anak-anak di masa itu tumbuh sebagai pribadi penuh percaya diri dan bersemangat tinggi.
Selebihnya, kita bisa memberikan hadiah kepada anak-anak bukan sebagai perangsang agar berbuat baik, melainkan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang. Ini berarti menuntut cinta tanpa syarat. Kita berikan hadiah kepada anak-anak secara adil dan merata, sehingga mereka merasakan betapa orangtuanya sangat pemurah dan memuliakan. Kita beri hadiah karena mencintainya, bukan imbalan atas apa yang mereka kerjakan.
Jika kita berikan hadiah karena mereka berbuat baik, lalu mana yang menunjukkan tulusnya cinta kita kepada mereka? Atas dasar apa kita menuntut yang lebih dari mereka? Bukankah pemberian kita merupakan harga yang pas atas tindakan mereka?
Astaghfirullahal-‘adziim. Alangkah banyak kekeliruan kita. Alangkah sedikit ilmu yang kita siapkan untuk membangun satu generasi. Padahal dari generasi itu, barangkali akan menentukan karakter generasi berikutnya hingga beratus tahun sesudah kita tiada.
Ya Allah, ampunilah kami yang tak memiliki bekal apa-apa untuk menjadi orangtua.
Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dengan memberikan kemuliaan kepada mereka.
Nak, maafkanlah bapakmu ini. Bersabarlah atas kebodohan dan kezhaliman orangtua kalian. Semoga kelak Allah meninggikan derajatmu dan memuliakanmu dengan surga-Nya yang tertinggi. Allahumma amin.