Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain.
Disebutkan dalam hadits Rasulullah s.a.w.:
“Nabi s.a.w. melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminta wanita yang dipinang sampai orang yang meminangnya meninggalkannya atau mengizinkannya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Melihat Wajah
Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Apabila seseorang diantara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim)
Imam Tirmidzi rahimahumulloh berkata: “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya”. Akan tetapi, yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya.
Ketika Laki-laki Shalih datang untuk Meminang
Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal, maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki yang shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya.
Dari Abu Hatim Al-Muzani r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Jika datang kepada kalian sesorang yang kalian ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar” (HR. Tirmidzi)
Menawarkan Muslimah kepada Laki-laki Shalih
Boleh juga seorang wali menawarkan putri atau saudarinya kepada orang-orang yang shalih. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Bahwasannya tatkala Hafshah binti Umar r.a. ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi – salah seorang sahabat Nabi s.a.w. yang meninggal di Madinah --, Umar bin Khaththab r.a. berkata: “Aku mendatangi Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata: ‘Akan aku pertimbangkan dulu’. Setelah beberapa hari kemudian Utsman mendatangiku dan berkata: ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini’.”
Umar melanjutkan: “Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shidiq r.a. dan berkata: ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti Umar denganmu’.”
Akan tetapi, Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apapun. Saat itu Umar lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada Utsman. Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasululloh s.a.w. meminang Hafshah. Maka Umar pun menikahkan putrinya dengan Rasulullah s.a.w.
Kemudian Abu Bakar menemui Umar dan berkata: “Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah tetapi aku tidak berkomentar apapun?”. Umar menjawab: “Ya”. Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah s.a.w. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu” (HR. Bukhari dan Nasai)
Sholat Istikharah
Apabila seorang laki-laki telah nazhor (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan sholat istikharah dan berdoa seusai sholat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepadaNya agar diberikan pilihan yang baik baginya.
Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdulloh r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. mengajari kami sholat istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari kami surat Al-Qur’an.
Beliau bersabda:
“Apabila seseorang diantara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan sholat sunnah (istikharah) duaroka’at, kemudian membaca doa (istikharah)” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Faedah Beristikharah
Faedah-faedah yang berkaitan dengan istikharah:
1. Sholat istikharah hukumnya sunnah
2. Doa istikharah dapat dilakukan setelah sholat Tahiyyatul Masjid, sholat sunnah rowatib, sholat dhuha, atau
sholat malam
3. Sholat istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk
memutuskan jadi atau tidaknya menikah, karena asal dari pernikahan adalah dianjurkan
4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdoa istikharah
5. Tidak ada hadits yang shohih jika sudah sholat istikharah akan ada mimpi dan lainnya
Akad Nikah
Dalam akad nikah ada beberapa syarat, rukun, dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:
1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi adil)
4. Mahar (maskawin)
5. Ijab Qabul
Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang yang paling berhak menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi, bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus akad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seijin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah), pernikahannya batil, pernikahannya batil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthon (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Darimi, Ibnu Jarud, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Baihaqi)
Wali Jangan Menghalangi
Allah berfirman:
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa iddahnya, maka jangan kamu (para wali) menghalangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” (QS.Al-Baqarah 2:232)
Ayat di atas memiliki sebab turunnya ayat yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: Maka janganlah kamu menghalangi mereka, Hasan Al-Bashri r.a. berkata: Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar r.a.: Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya.
Ia berkata:
“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suaminya) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya: ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya!’ Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka’. Maka aku berkata: ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah”. Kemudian Ma’qil menikahkan saudara peremuannya dengan laki-laki itu”. (HR. Bukhori, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shohih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan rujuk dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridho. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (QS.Al-Baqarah: 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka.
Apabila pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban pula meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya, dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya”. Para sahabat berkata: “Wahai Rasullullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab: “Jika ia diam saja” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasai)
Mahar
Allah s.w.t. berfirman:
“Dan berikanlah Mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan”. (QS. An-Nisa’: 4)
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan. Mahar (maskawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang istri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhoannya.
Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:
“Diantara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya, dan mudah rahimnya”. (HR. Hasan)
“Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan”.
Uqbah bin Amir r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban)
Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan Al-Qur’an yang dihafalnya. Pernyataan tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Khotbah Nikah
Menurut sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khotbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Walimah
Walimah ‘arusy (pesta pernikahan) hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin. Ini merupakan pendapat dari Imam Asy-Syafi’I, Imam Malik, dan Ibnu Hazm Azh-Zhoiri rahimahumullah.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Selenggarakan walimah meskipun hanya dnegan menyembelih seekor kambing”. (HR. Bukhari dan Muslim).