Oleh: Muhaimin Iqbal
Seorang teman saya
memiliki usaha penerbitan skala sedang yang dibangunnya lebih dari
seperempat abad. Dia sama sekali tidak mau menggunakan uang bank atau uang
orang lain untuk mengembangkan usahanya, apapun yang bisa dia bangun dengan
kekuatan sendiri itulah yang dia lakukan. Prinsipnya ini sejalan dengan do’a
yang dia lafadzkan setiap pagi dan petang “…wa a’dzubika min
ghalabatiddaini…” dan aku berlindung kepadaMu dari lilitan hutang…” Apa
yang dia lakukan ini insyaAllah merupakan kebaikan tersendiri, tetapi
sesungguhnya dia bisa berpeluang untuk mendatangkan lebih banyak keberkahan
apabila dia mau bersyirkah.
Hutang memang seharusnya
dijauhi, oleh sebab itulah kita dicontohkan untuk berdoa setiap pagi dan petang
untuk berlindung dari lilitan hutang ini. Tetapi syirkah (Persekutuan
usaha untuk
mengambil hak atau beroperasi-ed) mendatangkan berkah, sesuatu
yang mendatangkan berkah tentu perlu dikejar bukan dijauhi.
Keberkahan syirkah ini seperti
yang terungkap dalam hadits : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
berfirman, ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyirkah, selama
salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati yang lain. Jika salah seorang di
antara keduanya mengkhianati yang lain, maka aku keluar dari persyirkahan
tersebut’” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuaili
menjelaskan makna bahwa Allah adalah pihak ketiga yang terlibat dalam persyirkahan
: “Aku (Allah) akan menjaga dan melindungi keduanya. Aku akan
menjaga harta keduanya dan memberkahi perdagangan keduanya. Jika salah satu di
antara keduanya berkhianat, maka Aku akan menghilangkan berkah dan tidak
memberikan pertolongan kepada keduanya.”
Bayangkan sekarang dengan teman
saya yang sudah sukses membangun usahanya selama seperempat abad lebih tersebut
di atas, bayangkan seandainya dia mau berbagi kesuksesannya dengan bersyirkah
bersama saudara-sauadaranya muslim yang lain, yang saat ini ‘terpaksa’ menaruh
uangnya di bank-bank yang tidak diketahui siapa
akhirnya yang menggunakan uang-uang mereka tersebut.
Dengan bersyirkah sesama muslim
yang amanah, maka keduanya insyaallah mendapatkan keberkahannya. Si pengusaha
dapat terus mengembangkan usahanya, dan si empunya modal dapat lebih terlibat
dalam penggunaan uangnya dan sekaligus terlibat dalam penciptaan
kemakmuran-kemakmuran baru berupa lapangan kerja secara langsung.
Syrikah bukan hutang dan kedua
orang yang bersyirkah berdiri sejajar satu sama lain, sangat berbeda dengan
hutang karena si penghutang bisa berada dibawah tekanan si pemberi hutang –
seperti lanjutan dari do’a tersebut diatas “…dan aku berlindung
kepadaMu dari lilitan hutang dan tekanan orang lain.”
Ketika seorang muslim bekerja
keras mencari nafkah dan sebagian uangnya dia simpan untuk kebutuhan dan
tanggung jawabnya di kemudain hari, sampai di sini insyaAllah uang tersebut
halal dan berkah. Tetapi ketika uang tersebut disimpan di bank-bank
(konvensional) maka uang tersebut melahirkan dua kali riba.
Riba pertama adalah ketika dia
menabung dan oleh bank (konvensional) si penabung diberi imbalan bunga. Riba
kedua adalah ketika uang tersebut oleh bank disalurkan ke pihak lain dalam
bentuk kredit yang dari debiturnya bank mengambil bunga yang lebih besar lagi,
yaitu sebagian untuk membayar ke penabung dan sebagian lainnya untuk
penghasilan bank itu sendiri.
Selain menimbulkan dua kali
riba tersebut, uang kita yang kita peroleh dengan susah payah juga bisa menjadi
musuh bagi kita sendiri dan juga masyarakat. Yaitu ketika yang memiliki akses
terhadap penggunaan uang kita tersebut adalah para pengusaha hitam yang dengan
usahanya mematikan pasar rakyat, menggusur tanah rakyat, mengeruk kekayaan alam
tanpa berusaha memulihkannya dan lain sebagainya.
Maka agar uang kita tidak
menimbulkan dua kali riba, tidak pula menjadi musuh bagi kita dan juga rakyat,
semaksimal mungkin uang kita harus dalam kendali kita sendiri. Dengan
bersyirkah-lah hal itu bisa dimungkinkan. Saudara-saudara muslim kita yang
pandai berusaha, hendaknya mau berbagi keahliannya dengan mengajak bersyirkah
saudara-saudara muslim lainnya yang memiliki modal.
Sebaliknya saudara-saudara
muslim kita yang memiliki modal, hendaknya mau bersyirkah dengan
saudara-saudara kita yang memiliki usaha. Lha wong ‘bersyirkah’ dengan bank yang menghasilkan dua riba dan siapa
pengguna akhir uangnya tidak kita ketahui saja pada mau kok, masak yang bebas
riba dan diketahui pengguna akhir dari uangnya – kita tidak mau ?.
Mungkin ada yang punya argumen
untuk ini, misalnya ‘bank-bank kan professional, uang kita aman di mereka…dst.’ juga ‘kalau kita
bersyirkah dengan orang yang tidak kita kenal apa jaminannya? Siapa yang
mengawasinya? Siapa yang memverifikasi kelayakan usahanya? Dan seterusnya.’
Untuk argumen pertama,
jawabannya adalah memang harus ada kriteria –pengusaha seperti apa yang layak
mendapatkan dana syirkah dari umat ini. Untuk ini kami sendiri menggunakan
empat kriteria yang kami sebut QAHA (Qowiyyun - Amin, Hafidzun – Alim). Hanya
pengusaha yang kuat/professional lagi amanah, pandai mengelola (bagus
management-nya) dan mereka tahu betul apa yang mereka lakukan – bukan usaha
yang anut grubyuk – merekalah yang kami ajak
bersyirkah.
Tetapi siapa yang memverifikasi
bahwa pengusaha tersebut memenuhi kriteria QAHA ini? Itulah Al-Qur’an memberi
solusi, yaitu diharuskannya ada “…seorang penulis…, yang menuliskannya dengan
benar…. adanya dua orang saksi…. penulis tidak bosan menulis yang kecil maupun
yang besar…dst.” (QS 2 :282). Satu ayat terpanjang di surat
terpanjang, lebih dari cukup untuk memberikan solusi bagi berbagai keraguan
kita untuk bermuamalah dengan saudara kita – seperti dalam ber-syirkah ini.
Tetapi siapa penulis dan para
saksi tersebut di jaman ini ? Untuk penulisnya bisa saja kita gunakan
koperasi/BMT, dan bank-bank syariah yang tentu punya kompetensi dibidang
ini. Tetapi fungsi mereka hanya menuliskan/meng-administrasikannya
– bukan yang memiliki modal dan bukan pula yang memiliki hak prerogative dalam
penggunaan dana umat. Untuk saksi-saksinya bisa saja kita gunakan para notaris
yang memang profesinya itu di jaman ini.
Walhasil dengan bersyirkah
melibatkan BMT/bank syariah sebagai juru tulis/administrator dan para notaris
sebagai saksi, insyaallah kita bisa memasyarakatkan syirkah-syirkah ini dengan
menggunakan lembaga-lembaga yang memang secara legal formal diakui oleh negara
dan digunakan di masyarakat.
Masih satu lagi pertanyaan atau
tantangannya yaitu bagaimana memasyarakatkan secara luas konsep syirkah yang
bisa mendatangkan berkah ini, agar mampu bersaing dengan konsep tabungan yang
mendatangkan riba? Kita ketahui bahwa saat ini lebih dari 95% DPK (Dana Pihak
Ketiga) dari masyarakat beradanya masih di bank-bank konvensional –artinya
mayoritas yang sangat besar (saat ini sekitar Rp 2,800 trilyun) dana masyarakat
masih menghasilkan dua riba tersebut di atas !
Penyebar luasannya yang efektif
menurut saya dapat mengikuti pola syariat peribadatan khusus seperti jihad dan
sholat. Bila saudara muslim kita terdzalimi di suatu wilayah, maka muslim di
wilayah tersebut yang wajib berjihad membelanya, kalau tidak mampu maka muslim
yang dekat dengan wilayah tersebut yang ikut mendapatkan kewajibannya, terus
meluas sampai muslim di seluruh dunia ikut mendapatkan kewajiban ini bila
masalah tetap tidak teratasi.
Dalam sholat juga demikian,
lima kali sehari kita (laki-laki) diwajibkan shalat berjamaah dengan
lingkungannya. Kemudian sepekan sekali, wajib shalat di lingkungan yang lebih
besar – dengan jamaah yang lebih banyak, yaitu sholat Jum’at. Dua kali dalam
setahun shalat di lapangan untuk berjamaah dengan jamaah yang lebih besar lagi
– yaitu Iedul Fitri dan Iedul Adha. Dan seumur hidup sekali, wajib bagi yang
mampu berjamaah menunaikan ibadah haji – berkumpul bersama umat di seluruh
dunia.
Maka perjuangan membebaskan
umat dari riba juga bisa mengikuti pola-pola tersebut di atas. Koperasi, BMT,
Baitul Qiradh dan sejenisnya bisa menjadi institusi lokal yang mendorong umat
untuk bersyirkah dan menjauhi riba di lingkungan masing-masing.
Kemudian bank-bank syariah
dapat memposisikan dirinya untuk menjadi juru tulis/administrator yang
mendorong terjadinya syirkah-syirkah yang lebih besar dari potensi yang ada di
umat ini secara nasional.
Lebih lanjut lagi untuk
project-project umat yang berskala lebih besar lagi yang berada diluar
kemampuan bank-bank syariah untuk mengelolanya, kita dapat melibatkan sukuk
yang berskala global – agar umat Islam di negeri lain yang berkelebihan dapat
ikut terlibat di dalam project-project umat di negeri ini. Hal yang sebaliknya
juga bisa terjadi, yaitu umat Islam di negeri ini bisa terlibat dalam pendanaan
project-project keumatan di negeri lain yang membutuhkan dana kita – melalui
sukuk yang diarrange secara global.
Insyaallah kami ada rintisan
untuk ketiga level tersebut sekaligus, yaitu yang ditingkat koperasi/BMT, di
tingkat bank-bank syariah dan bahkan juga di tingkat sukuk global.
Silahkan menghubungi kami jika sekiranya rintisan kami tersebut bermanfaat
untuk Anda dan umat di sekeliling Anda.
Jalan membebaskan umat dari
riba itu jelas nampak ada di depan mata, hanya masalahnya adalah seberapa kuat
keinginan kita untuk melakukannya. Insyaallah kita akan melakukannya!