Senin, 31 Oktober 2011

Sekadarnya, Secukupnya!!!

Oleh : Herry Nurdi

Berhadapan dengan seseorang atau sekelompok manusia yang melakukan kesalahan adalah, agar mereka mau menerima nasihat dan memperbaiki diri. Tapi banyak di antara kasus yang terjadi di sekeliling kita, ketika bertemu dengan seseorang yang melakukan kesalahan, justru target utamanya adalah membuat mereka merasa bersalah dan terpojokkan. Maka janganlah heran jika kita menemukan orang dan banyak kelompok menerapkan strategi untuk membela diri, mencari berjuta kilah, dan jika perlu memutarbalikkan fakta. Karena, sangatlah manusiawi, manusia tak ada yang mau dipersalahkan, apalagi dituding sebagai bertanggung jawab atas segala kekacauan.

Karena itu, dalam banyak kasus pemberian nasihat dan menegur kesalahan, Rasulullah menerapkan target bukan pengakuan kesalahan dari yang bersangkutan. Tapi kejujuran perasaan, penerimaan nasihat, dan perbaikan diri menuju kondisi yang lebih baik lagi.

Sampai hari ini saya masih belajar dengan keras, bagaimana caranya mengendalikan diri. Terutama ketika marah dan tidak senang hati. Pada anak-anak dan istri, pada teman-teman sejawat yang saya koordinatori, kepada pengendara sepeda motor yang seolah punya jalan sendiri, kepada banyak hal.

Kadang saya merasa marah dan tidak ridha hati, padahal masalahnya kecil sekali. Lalu kemarahan kecil itu, merembet, melebar, meluas, menjalar. Tak hanya satu nama yang disebut, tapi bertambah dua. Kemudian tiga, kemudian banyak yang disalahkan. Setelah reda, biasanya saya menyesal. Istighfar berulang-ulang.

Saya pernah membaca kisah tentang seorang Badui di zaman Rasulullah tercinta. Tapi mohon dimaafkan, saya lupa namanya, tapi saya ingat betul kisahnya. Tokoh kita ini, rumahnya jauh dari Madinah, dan sesekali saja berjumpa Rasulullah untuk mempelajari agamanya. Suatu ketika, ia belajar dari Rasulullah tentang kalimat yang diucapkan ketika seorang saudaranya bersin. ”Alhamdulillah,” yang bersin berkata demikian.

Lalu dijawab oleh yang mendengar, ”Yarhamukumullah.” Kemudian yang didoakan menjawab ulang, ”Yahdikumullah.” Begitulah agama ini, penuh doa-doa yang menggembirakan hati.

Singkat cerita, untuk beberapa waktu lamanya, si fulan dari suku Badui Arab ini tak berkunjung ke Madinah dan menemui Rasulullah tercinta. Suatu hari, ia berkunjung ke Madinah dan mendapat Rasulullah dengan para sahabat sedang menunaikan shalat. Lalu ia pun bergabung menunaikan shalat yang sama.

Di tengah-tengah shalat, ada salah seorang jamaah yang bersin. Tapi sang tokoh kita mendapati tak satu pun yang berkata Alhamdulillah dan menjawab seperti yang pernah ia dengar dari ajaran Rasulullah. Lalu dengan semangat ia mengingatkan, agar yang bersin melafazhkan hamdalah. Tapi semua dalam kondisi shalat, dan mata para jamaah memandangnya, seolah-olah melontarkan teguran bahwa ia bersalah. Dan memang, faktanya ia telah bersalah dengan bersuara di dalam shalat.
Setelah shalat, Rasulullah membalikkan tubuh dan bertanya, suara siapakah gerangan yang berkata-kata di dalam shalatnya. Biasanya, Rasulullah selalu mengenali suara-suara para sahabatnya. Tapi karena tokoh kita yang satu ini jarang bertemu dan hanya sesekali datang ke Madinah, Rasulullah pun tak terlalu hapal pada suaranya.

Ketika Rasulullah bertanya, tokoh kita ini, merasa bakal mendapat marah besar karena telah mengganggu shalat dan melakukan kesalahan. Dia sudah membayangkan hal-hal yang bukan-bukan. Tentang kemarahan Rasulullah, tentang hukuman yang akan diterimanya, tentang pandangan-pandangan semua orang atas dirinya. Tentang banyak hal.

Tapi rupanya, semua yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Rasulullah hanya berkata, ”Tidak ada bacaan lain dalam shalat kecuali yang sudah ditentukan.” Dan seketika si fulan mengerti tentang kesalahan yang dibuatnya. Dan kegundahannya akan kemungkinan-kemungkinan hukuman yang ada di dalam dadanya, sirna seketika. Rasulullah memberikan teguran secukupnya, sekadarnya, karena Rasulullah mengerti yang melakukan kesalahan memang baru belajar dan banyak lagi yang perlu dipahami.

Saya selalu malu mengingat riwayat ini, karena seringkali saya tak secukupnya, tak sewajarnya, berlebihan dan tak mampu menahan kemarahan. Padahal marah pada orang yang salah, menegur seseorang yang alpa, tujuan besarnya adalah menasihati agar kembali pada jalan kebaikan dan kebenaran. Tapi ketika kita justru marah panjang kali lebar kali tinggi, barangkali pesan yang sesungguhnya ingin kita sampaikan tak pernah masuk ke hati.

Belum lagi jika yang dipersalahkan membela diri, melakukan perlawanan, memberikan argumentasi-argumentasi tandingan, maka yang lahir kemudian adalah perdebatan, saling bantah, dan bisa jadi tukar pukul dan baku hantam. Maka, keduanya bertambah jauh dari kebaikan dan kebenaran.

Semoga Allah mengampuni saya, yang sering kali berlebihan ketika marah. Astaghfirullah hal Adzim. Dan semoga Allah memberi kekuatan kepada saya, ketika kemarahan-kemarahan mengirimkan hasutan pada hati dan akal untuk berlaku berlebihan. Laa haula walaa quwwata illa billah. Dan semoga Allah senantiasa menjaga saya, selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran. Amin ya Rabbal Alamin.

Jumat, 14 Oktober 2011

Berdekat-dekatlah Dengan Al-Qur'an

Sumber : Dakwatuna.com

“Orang yang dalam dadanya tidak ada sedikit pun dari Alquran, ibarat rumah yang bobrok.” (HR. At-Tirmidzi)

Maha Bijaksana Allah swt. yang menciptakan kehidupan dengan segala kelengkapannya. Laut yang luas dengan segala kandungannya. Langit yang biru dengan gemerlap hiasan bintang-bintangnya. Dan kehidupan manusia dengan kelengkapan aturan dan rambu-rambunya.


Berdekat-dekatlah dengan Al-Quran, hati akan memperoleh kesegaran. Hati sebenarnya mirip dengan tanaman. Ia bisa segar, layu, dan kering. Karena itu, hati butuh sesuatu yang bisa menyuburkan: siraman air yang menyejukkan, kehangatan matahari yang menguatkan, dan tanah gembur yang banyak makanan.


Untuk hati, siraman air adalah cahaya Al-Quran, kehangatan matahari adalah nasihat, dan tanah gembur merupakan lingkungan yang baik. Hati yang selalu dekat dengan Al-Quran bagaikan tanaman yang tumbuh di sekitar mata air nan jernih. Ia akan tumbuh subur dan kokoh.


Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, dilingkupi pada diri mereka rahmat, dilingkari para malaikat, dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka pada makhluk yang ada di dekat-Nya.” (HR. Muslim)


Berdekat-dekatlah dengan Al-Quran, pandangan akan menemukan kejernihan. Secanggih apa pun sebuah gagasan, pemikiran; selama tidak bersandar pada Al-Quran, selama tidak dibimbing Al-Quran, hanya akan berkutat pada persoalan teknis. Bukan sesuatu yang ideal. Hanya akan berkutat pada materi dan materi.


Itulah yang diraih peradaban Barat saat ini. Sekilas kehidupan masyarakatnya seperti makmur sejahtera, padahal nilai-nilai sosial di sana sudah luntur. Idealita hidup menjadi begitu dangkal. Nilai hidup dan kemanusiaan menjadi tidak begitu dihargai.



Begitu pun ketika umat Islam berjarak dengan Al-Quran. Semakin jauh, pola pikir akan terjebak pada persoalan materi. Masalah yang muncul tidak pernah terselesaikan. Karena gagasan tidak mampu menyentuh persoalan inti, cuma berkutat pada yang kulit.

Krisis bangsa ini ada pada sisi moral. Dan itu ada dalam jiwa manusia. Upaya perubahan tidak akan punya arti jika tanpa ada pembenahan pada jiwa manusia. Allah swt. berfirman, “…
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehinga mereka mengubah keadaan yang ada pada jiwa mereka sendiri….” (Ar-Ra’du: 11)

Berdekat-dekat dengan Al-Quran akan menyegarkan jiwa. Segala syahwat buruk yang melahirkan emosi jahat bisa terkikis. Pandangan pun akan menjadi jernih. Maha Suci Allah dalam firman-Nya, “
Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian.” (Al-Isra’: 82)

Berdekat-dekatlah dengan Al-Quran, langkah akan mendapat bimbingan. Siapa pun kita, tetap tidak bisa keluar dari sifat sebagai manusia. Kadang melangkah dengan semestinya, kadang juga tersasar. Inilah di antara kelemahan manusia yang tidak bisa menentukan dengan kemampuan dirinya: mana jalan yang benar, dan mana yang tidak. Ia butuh bimbingan.


Hati yang segar dan pemikiran yang jernih akan menggiring langkah ke jalan yang lurus. Khusus mereka yang selalu dekat dengan Al-Quran, jalan kehidupan seperti dilengkapi rambu-rambu. Begitu jelas.


Kalaupun ia tersasar karena sifat manusianya, akan ada rasa tidak nyaman. Firasat imannya seperti memberikan sinyal. Bisa dalam bentuk kegelisahan, keraguan, dan sebagainya. Ia tidak lagi butuh teguran apalagi hukuman. Cukup dengan isyarat dari Allah swt., kesadaran pun kembali segar.


“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hadiid: 28)


Berdekat-dekatlah dengan Al-Quran, kita tidak akan pernah sendirian. Keimanan dalam hati seseorang bisa terang, bisa juga redup. Ketika redup itulah, seorang mukmin seperti dalam kesendirian. Ada ketakutan, putus asa, ketidakmampuan, dan sejenisnya. Dunia seperti hutan lebat tanpa seorang pun di sana, kecuali dia seorang. Ia sangat butuh teman.


Seorang mukmin yang membaca Al-Quran, ia seperti sedang berdialog dengan seorang teman sejati. Yang siap menunjukkan yang salah dan yang benar. Ia menuntun sang teman kepada jalan yang baik, penuh kebahagiaan dan keselamatan.


Rasulullah saw. mengatakan, “Siapa yang ingin berdialog dengan Rabbnya, maka hendaklah dia membaca Al-Quran.” (HR. Adailami dan Al-Baihaqi)


Kini semua pilihan terhampar. Petunjuk dan rambu-rambu pun sudah diberikan. Tinggal kita yang harus menentukan: memilih jalan bersama Al-Quran, atau tidak. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir….” (Al-Kahfi: 29)

Tawadlu' Itu Penting

Oleh : Samson Rahman
Sumber : Eramuslim.com

Salah satu sifat utama yang harus melekat pada seorang mukmin adalah sifat tawadhu (rendah hati). Bahkan Allah menyebutkan bahwa hamba-hamba Sang Maha Rahman akan senantiasa berjalan di muka bumi dengan rendah hati tanpa ada rasa congkak dan sombong yang bersarang dalam dada mereka.

Allah swt berfirman:
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (QS. Al-Furqan [25] : 63)

Tawadhu’ adalah sifat mulia yang menjadikan seseorang tidak merasa lebih besar dari orang lain dan tidak merasa lebih tinggi dari yang lain. Bagi orang-orang yang tawadhu’ manusia lain sama posisinya dengan dirinya walaupun dia sedang berada dalam kedudukan tinggi dalam pandangan manusia. Orang-orang yang tawadhu’ menyadari bahwa kemuliaan seseorang bukan dilihat dari posisi dan jabatannya, bukan dari pangkat dan hartanya, kedudukan mereka di lihat dari ketakwaan yang melekat pada dirinya. Nilai dan kemuliaan seseorang di mata Allah adalah tergantung pada ketinggian takwanya, dan kekokohan imannya.

Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firman-Nya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat [49] : 13)

Ketawadhuaan seseorang tidak akan mengurangi kehormatannya dan tidak pula akan merendahkan kedudukannya. Bahkan sebaliknya, seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dan posisi terhormat, kemudian berendah hati maka dia akan menjadi buah bibir di tengah masyarakat karena kerendahan hatinya yang sekaligus mengangkat derajatnya di mata manusia dan manusia tidak akan mendengki dan iri akan kedudukannya. Sebaliknya manusia yang tinggi kedudukannya dan tinggi hati pada manusia lainnya maka akan banyak orang yang iri padanya bahkan mereka menginginkan agar orang yang tinggi hati itu segera dicopot dari posisinya.

Marilah kita sama-sama menyimak dengan seksama sabda Nabi Muhammad Saw berikut:
"Sedekah itu tidak mengurangi harta, dan tidaklah seseorang itu suka memberi maaf kecuali Allah angkat dia menjadi mulia, dan tidaklah seseorang berendah hati kecuali Allah akan angkat derajatnya." (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Gambaran berikut akan memperjelas bagaimana sikap rendah itu mengangkat derajat seseorang. Adalah Khalifah Umar bin Khattab, pada suatu hari dia berjalan di tengah terik matahari sambil menutupkan selendangnya di kepalanya.

Saat itu lewatlah seorang anak muda yang menunggang seekor keledai. Berkatalah Umar padanya, “Wahai anak muda bawalah aku bersamamu!”
Maka turunlah anak muda itu dari keledainya dengan melompat seraya berkata, “Naiklah wahai Amirul mukminin!”
Melihat anak muda itu turun dari keledainya dan mempersilahkan dirinya naik sementara dia harus berjalan maka Umar berkata, ”Tidak! Naiklah engkau, dan bawalah aku di belakangmu.

Apakah engkau akan membawaku di tempat yang emput sementara engkau berjalan di atas tanah yang kasar?” Maka anak muda tadi menaiki keledainya dan memasuki Madinah sementara Umar berada di belakangnya dan penduduk Madinah melihat mereka.

Sebuah ketawadhu’an yang sangat dramatis, indah dan mengagumkan. Ketawadhu’an inilah yang kemudian menjadi cerita yang ditulis dengan tinta emas oleh para sejarawan setelah Umar meninggal ratusan tahun lamanya. Namanya tetap wangi semerbak karena sikapnya yang tawadhu’ ini.

Tapi lihatlah Fir’aun, Abu Jahal, Abu Lahab yang juga berkedudukan tinggi di masanya, namun mereka kini menjadi cibiran bangsa-bangsa dan ummat manusia hingga akhir zaman. Mereka Allah rendahkan kedudukannya karena mereka meninggikan diri di hadapan manusia.
Kisah ini juga akan memberikan pelajaran bagi kita. Dalam sebuah riwayat yang dilansir oleh Ibnu Saad dari Tsabit dia berkata, "Pada saat Salman menjadi Gubernur Madain ada seseorang yang datang dari wilayah Syam dari kalangan Bani Tamim dengan membawa buah tiin. Sementara Salman memakai celana yang biasa dipakai orang non Arab dan sebuah baju panjang. Orang itu berkata kepada Salman, dan dia tidak mengetahuinya, 'Tolong bawakah ini,'—dia mengira bahwa Salman seorang tulang panggul. Maka Salman al-Farisi membawakan untuknya buah tiin itu sementara manusia manusia melihat dan mengenalinya seraya berkata, 'Ini gubernur kita'.”

Kedua orang sahabat Rasulullah saw yang meneguk ajaran sang Nabi itu sangat mengerti makna hidup rendah hati pada manusia lainnya termasuk pada rakyatnya dengan sepenuh hati dan jiwa. Mereka tidak pernah minta dinomersatukan, tidak pula ingin dipuja-puja, tidak minta untuk dikenal, tidak minta di kursi paling depan kalau ada pertemuan. Namun manusia tetap memberikan rasa hormat padanya karena memang mereka pantas untuk mendapat kehormatan itu. Mereka memiliki inner power yang menjadi magnet pribadinya.

Kisah Al-Makmun khalifah Nabi Abbas yang cerdas, rasanya pantas pula kita jadikan pelajaran bagaimana Al-Makmun memaknai kedudukannya sebagai abdi rakyat yang sebenarnya. Suatu hari Yahya bin Aktsam menjadi tamu Al-Makmun. Kemudian Al-Makmun berdiri untuk mengambilkan air baginya. Yahya kaget melihat apa yang dilakukan oleh khalifah kaum muslimin paling disegani di zamannya itu sambil bergumam bagaimana mungkin seorang Amirul Mukminin datang dengan membawakan air baginya sementara dia duduk di tempatnya. Melihat gelagat rasa tidak enak pada Yahya dan tanda tanya di mukanya Al-Makmun berkata, "Pemimpin sebuah kaum itu adalah pelayan mereka!" Indah sekali, bagaikan legenda. Namun itu kisah nyata.

Maka benarlah apa yang pernah dikatakan seorang penyair:
Berendah hatilah engkau bagaikan bintang yang ada di dalam bayangan air
Padahal sebenarnya dia berada di angkasa nan tinggi
Dan janganlah engkau jadi laksana asap yang membubung sendiri
Di atas awan, sementara sesungguhnya dia adalah rendah sekali

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib membeli daging seharga satu dirham. Kemudian dia membawanya dalam bungkusan. Salah seorang sahabatnya berkata padanya, "Aku saja yang membawanya wahai Amirul Mukminin!" Namun Ali bin Abi Thalib dengan santun berkata, "Jangan! Sebab orang tua dalam keluarga itulah yang paling pantas membawakan itu!" Ali menegaskan bahwa tidaklah berkurang kesempurnaan seseorang karena membawakan barang milik keluarganya.

Maka marilah kita belajar dari orang-orang besar dengan jiwa besar itu. Mereka besar karena memiliki kepribadian yang besar, memiliki hati yang lapang dan paradigma yang benar tentang makna hidup manusia yang sesungguhnya. Saatnya kita belajar dari mereka tatkala negeri ini sedang membutuhkan peminpin dengan jiwa besar, dengan pikiran besar, dengan hati yang besar, dengan visi dan misi besar yang terbungkus rapi dalam ketawadhu’an yang sempurna.

Semoga kita bisa.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.