Minggu, 31 Oktober 2010

Bahagiakan Mereka, Nyalakan Semangatnya


Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka

Oleh Mohammad Fauzil Adhim*

TIDAK ada anak yang bandel. Kitalah yang tidak tahu bagaimana mengajak bicara, menyemangati, dan memberikan arah hidup bagi mereka. Kitalah yang lupa untuk bermain bersama, bercanda, dan bercerita agar hati mereka dekat dengan kita. Padahal kita tahu kedekatan hati itulah yang membuat anak akan mendengar kata-kata kita.

Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka. Setiap anak–asal normal—lahir dalam keadaan jenius dan penuh rasa ingin tahu. Kitalah yang mematikannya dengan hadiah-hadiah, bahkan di saat mereka tidak menginginkannya.

Kita lupa bahwa anak-anak pada awalnya tidak memerlukan hadiah untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tanpa hadiah, anak-anak tetap bersemangat belajar merangkak dan berjalan, meski harus beberapa kali tersungkur.

Anak-anak tidak pernah meminta uang untuk satu kosa kata baru yang mereka kuasai di waktu kecil. Mereka belajar karena ingin tahu. Mereka melakukan hal-hal besar yang bermanfaat karena bersemangat. Bukan karena menghindari hukuman. Bukan juga untuk mengharap imbalan.

Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat semangatnya menyala-nyala sesudah kita berkali-kali mematikannya? Apa yang bisa kita perbuat agar anak-anak memiliki semangat berkobar-kobar?

Kasih Sayang

Mari kita lihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepanjang yang saya ketahui (ingatkan kalau keliru), Rasulullah tidak menggunakan dinar dan dirham untuk merangsang anak-anak berbuat baik. Tetapi anak-anak itu bersemangat karena Rasulullah memberi perhatian dan waktunya untuk menggembirakan hati. Rasulullah bercanda, bermain-main, bersikap lemah lembut, dan melimpahkan cinta kasih yang tulus kepada anak-anak.

Pernah Rasulullah menggendong cucunya, Umamah putri Zainab. Padahal ketika itu beliau sedang shalat.

Abu Qatadah berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah SAW, sedangkan Umamah binti Abi Al-Ash berada di atas bahu Rasulullah (digendong). Lalu beliau shalat. Ketika beliau rukuk, maka Umamah diletakkan, dan ketika beliau bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat.” (Riwayat Bukhari)

Sebuah pelajaran penting tentang betapa besar nilai kasih sayang bagi proses pendidikan (tarbiyah) dan pembentukan karakter anak-anak (ta’dib). Begitu pentingnya, sehingga saat shalat pun diizinkan untuk menggendong anak yang masih kecil agar hilang rasa susahnya dan gembira hatinya.

Betapa besar nilai kedekatan kita dengan anak-anak bagi proses penanaman nilai tauhid dan pembentukan sikap religius, sehingga Rasulullah pun pernah memendekkan shalatnya karena terdengar tangisan anak. Sayangnya hari ini, hanya karena kita tidak bisa shalat dengan khusyuk, anak-anak kita halau dari masjid dan tempat kita shalat.

Kita suruh anak-anak pergi jauh-jauh hanya karena mereka bergembira di masjid; berteriak-teriak, berlarian ke sana kemari, dan menirukan gerakan shalat kita dengan antusias dan jenaka. Kita larang anak-anak kecil masuk masjid karena tidak ingin mendengar tangisnya. Kita lupa bahwa Rasulullah memendekkan shalatnya bukan karena terganggu tangis anak-anak, tetapi agar ibu anak itu tidak risau. Sungguh, sangat berbeda akibatnya dalam tindakan jika kita salah menyimpulkan.

Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW berkata, “Aku mulai shalat dan ingin memanjang shalatku. Tiba-tiba aku mendengar tangis bayi, sehingga aku pendekkan shalatku, karena aku tahu bahwa ibunya sedih mendengar tangis bayinya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Qatadah meriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda, “Ketika shalat, aku bermaksud memanjangkan bacaan. Tiba-tiba aku mendengar tangis bayi, lalu aku pendekkan shalatku khawatir akan memberatkan ibunya.” (Riwayat Bukhari)

Rasulullah memilih untuk memendekkan shalatnya. Bukan melarang ibu tersebut membawa anaknya ke masjid di waktu-waktu berikutnya. Sungguh, ributnya anak-anak saat kita sedang shalat jauh lebih baik daripada jauhnya hati mereka dari agama Allah yang haq ini.

Alangkah mulia Nabi, dan alangkah jauh kita yang hidup sekarang ini. Saya ingin berbicara tentang ini lebih panjang lagi, tetapi saya harus kembali pada perbincangan di awal. Bukan dinar, bukan dirham, dan bukan pula hadiah-hadiah yang membuat anak-anak bersemangat. Tetapi kedekatan hati.

Bahagiakanlah, Muliakanlah

Bahagiakanlah mereka, insya Allah di dada mereka akan ada semangat yang menyala-nyala.

Muliakanlah, insya Allah mereka akan memuliakan dan mendengar kata-kata kita.

Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hati diciptakan dengan karakter yang mencintai orang yang memuliakannya dan membenci orang yang menghinakannya.”

Kita bisa belajar dari nasihat Ibnu Mas’ud. Pertama, muliakanlah anak dan bahagiakan mereka, niscaya mereka akan memuliakan kita, mendengar kata-kata kita, dan mengarahkan dirinya untuk menjadi seperti “yang seharusnya”. Bagaimana seharusnya mereka, sangat berkait dengan apa yang kita ajarkan kepada mereka.

Kedua, kenalkanlah kemuliaan Allah, sifat pemurah, dan keagungan Allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, insya Allah mereka akan lebih dekat hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan membebani dengan perintah-perintah untuk tunduk kepada-Nya agar mereka disayang dan doa-doa dikabulkan. Sebab, manusia cenderung memuliakan yang memuliakannya. Bukan mengagungkan kepada yang membalasi kebaikannya.

Bukankah Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Menciptakan dan Yang Maha Pemurah pada firman-Nya yang pertama kali turun? “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘Alaq: 1-5)

Alhasil, ketika anak-anak kita ajari berdoa, mereka yakin bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak sia-sia berdoa kepada Yang Maha Baik. Justru karena mengetahui Allah Maha Pemurah, insya Allah mereka lebih sungguh-sungguh berharap dan meminta.

Sayangnya, selama ini kita lebih sering memperkenalkan Allah dengan cara yang menyeramkan. Kita ajari mereka berbuat baik dan berdoa seolah-olah Allah tidak akan menurunkan rahmat dan nikmat-Nya kecuali setelah kita berbuat baik. Lalu, bagaimana mungkin kita berharap mereka menjadi orang-orang yang bersyukur dan bersungguh-sungguh mengelola hidupnya jika cara awal kita sudah salah?

Astaghfirullahal-‘adziim. Agaknya, banyak sekali kesalahan yang kita lakukan terhadap anak-anak. Agaknya kita perlu meminta keikhlasan mereka untuk memaafkan dan memperbaiki cara kita mendidik, agar kelak mereka tak menyesal mempunyai orangtua seperti kita.

Waktu, Bukan Uang!

Saya teringat ucapan Garry Martin dan Grayson Osborne. Psikolog dan penulis buku Psychology Adjustment and Everyday Living ini berkata, “Manfaatkanlah waktu yang ada. Pertama, janganlah mempunyai anak bila Anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika Anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang Anda setujui dari tingkah laku anak-anak Anda. Jauh lebih baik lagi jika Anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.”

Ya......, waktu! Bukan uang. Bukan benda-benda. Waktu untuk memberi perhatian, berbincang bersama, memberi kehangatan, bercanda, waktu untuk menyampaikan pesan dengan cara yang bersahabat dan penuh kehangatan, serta waktu untuk bermain dan bersujud bersama.

Inilah yang diberikan oleh Rasulullah kepada anak-anak. Rasulullah bercanda, bermain kuda-kudaan, dan memberi julukan-julukan yang baik kepada anak. Inilah yang membuat anak-anak di masa itu tumbuh sebagai pribadi penuh percaya diri dan bersemangat tinggi.

Selebihnya, kita bisa memberikan hadiah kepada anak-anak bukan sebagai perangsang agar berbuat baik, melainkan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang. Ini berarti menuntut cinta tanpa syarat. Kita berikan hadiah kepada anak-anak secara adil dan merata, sehingga mereka merasakan betapa orangtuanya sangat pemurah dan memuliakan. Kita beri hadiah karena mencintainya, bukan imbalan atas apa yang mereka kerjakan.

Jika kita berikan hadiah karena mereka berbuat baik, lalu mana yang menunjukkan tulusnya cinta kita kepada mereka? Atas dasar apa kita menuntut yang lebih dari mereka? Bukankah pemberian kita merupakan harga yang pas atas tindakan mereka?

Astaghfirullahal-‘adziim. Alangkah banyak kekeliruan kita. Alangkah sedikit ilmu yang kita siapkan untuk membangun satu generasi. Padahal dari generasi itu, barangkali akan menentukan karakter generasi berikutnya hingga beratus tahun sesudah kita tiada.

 Ya Allah, ampunilah kami yang tak memiliki bekal apa-apa untuk menjadi orangtua.

 Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dengan memberikan kemuliaan kepada mereka.

Nak, maafkanlah bapakmu ini. Bersabarlah atas kebodohan dan kezhaliman orangtua kalian. Semoga kelak Allah meninggikan derajatmu dan memuliakanmu dengan surga-Nya yang tertinggi. Allahumma amin.

Sederhana, Pilihan Hidup Mulia

Pola hidup sederhana seakan menjadi barang langkah yang hanya ada dalam cerita atau dongeng di pojok-pojok surau 

oleh: Ali Akbar bin Aqil*

Pada suatu sore, ketika Rasulullah SAW selesai menunaikan shalat Ashar bersama para sahabatnya, ada peristiwa aneh. Yaitu setelah rampung shalat, tiba-tiba Rasulullah bangkit dengan tergesa-gesa meninggalkan jamaah menuju rumahnya dan kembali lagi dengan membawa makanan lalu dibagi-bagikan kepada para jamaahnya yang ada.

Kemudian sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, ada apa gerangan tiba-tiba anda beranjak dari jamaah lalu kembali membagi-bagikan makanan?.” Apa jawab sang baginda?, “Aku tidak ingin apabila matahari tenggelam sementara di rumahku masih ada sisa makanan.” (HR. Bukhari)
Rasululah adalah manusia yang paling zuhud yang terpancar dalam potret hidupnya yang sederhana dan penuh kebersahajaan. Ilustrasi di atas cukup menjadi acuan akan kesederhanannya. Beliau tidak pernah menyisakan atau menyimpan makanan di rumahnya.

Pola hidup sederhana yang beliau jalani bukan karena kepapaannya. Tidak! Tetapi beliau memilih demikian sebagai teladan ideal bagi umatnya agar dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia tidak menjadikan harta sebagai tujuan utama.

Tersebutlah suatu riwayat yang menyatkan bahwa jika beliau berkenan, Allah menawarkan batu-batuan di kota Makkah menjadi taburan emas sebagai pembendaharaan baginda. Namun apa yang terjadi berikutnya? Beliau justru menjawab dengan rendah hati, “Tidak, wahai Tuhan. Tapi (biarkan) aku lapar sehari dankenyang sehari. Jika aku sedang kenyang, maka aku akan memuji-Mu, dan di saat lapar aku akan bersimpuh dan berdoa kepamau.”[ Muhammad Alwi Al Maliki, Muhammad al Insan Al Kamil, (Jeddah: Daar Asy Syuruq, 1411), cet. IV. hal. 156.]

Yang menarik adalah bahwa Rasulullah seorang pemimpin. Dengan posisi dan kedudukannya yang strategis itu, sebenarnya beliau mampu untuk memiliki fasilitas-fasilitas yang dimauinya. Terlebih kedudukan yang “wah” berpotensi menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Tetapi semua itu tidak beliau lakukan dan lebih memprioritaskan pola hidup sederhana. Inilah sebenarnya sosok seorang pemimpin yang menjadi patron umat.

Hidup Gaul atau Hidup Sederhana?

Ada yang menarik di seputar lingkungan kita terkait tema kesederhanaan. Yakni pola hidup sederhana seakan menjadi barang langkah yang hanya ada dalam cerita atau dongeng di pojok-pojok surau atau jerambah masjid (baca: Asatirul Awwalin).

Term kesederhanaan kerap dipersepsikan sebagai kemiskinan dan ketidak-gaulan. Karenanya tren kesederhanaan, seolah sudah tidak relevan untuk diperbincangkan apalagi dijadikan amaliyah di era moderen.
Di sisi lain, seiring dengan semakin tenggelamnya nilai-nilai kesederhanaan yang disertai pudarnya ajaran cinta kasih kepada sesama, maka bermunculan tren baru, yaitu pola hidup hedonis, glamour, elit, keren abis, gaul, yang semuanya muncul akibat ketamakan. Hal ini terjadi mulai dari lapisan masyarakat yang kebetulan “kaya” sampai yang terpaksa “miskin”.

Untuk lapisan pertama, pola hidup glamour dan hedon (mewah) masih memilki ruang dan daya tawar. Sebab mereka mempunyai sarana dan segudang fasilitas harta yang dimilikinya, kendati semua itu bukan sesuatu yang laik dan terpuji.

Namun, untuk lapisan berikutnya, yang terpaksa “miskin”, mereka dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama, jika tetap dengan penampilan “miskin”, takut disebut kurang  gaul. Pilihan kedua, kalau mau gaul modalnya apa? Baik pilihan pertama atau kedua sama-sama mengerikan jika orang tersebut tidak mendapatkan hidayah Allah. Karena mereka akan terseret oleh arus yang menjerumuskannya pada perbuatan nista demi meraih identitas semu yaitu  seperti “orang kaya”.

Lebih dari itu, di kalangan kaum terpelajar –tak terkecuali kaum santri- juga sudah menjamur pola hidup yang sering diistilahkan “gaul abis”. Para pelajar yang sebagian besar masih disubsidi oleh orangtua tersebut juga terjangkit virus kronis ini. Mereka bangga bila mampu menunjukkan atribut atau aksesoris “gaul”.
Ironisnya, kebanggaan itu tidak dibarengi dengan perilaku yang mencerminkan rasa syukur atas segala yang telah dimilikinya. Bahkan, kerapkali dijadikan jembatan untuk berbuat kufur dan maksiat kepada Allah yang Maha Pemberi!

Jika demikian, maka sadarilah bahwa kita telah terjebak dalam tipuan dunia yang menyebabkan kita tidak terhormat dunia-akhirat. Betapa tidak, di satu sisi kita mengkufuri nikmat Allah yang telah kita terima. Di sisi lain, kita telah mengkhianati amanah orangtua atau siapa saja yang telah mensubsidi kita dengan penuh husnudzan.

Secara tidak sadar kita telah melukai perasaan orang-orang di sekitar kita yang terpaksa “miskin” dan tidak pernah merasakan nikmatnya aksesoris atau atribut “gaul”, padahal mereka juga mempunyai selera sama.
Untuk itulah, solusinya adalah mari membiasakan diri hidup sederhana. Qona`ah bisa menjadi hal solutif. Qona`ah ialah sifat menerima apa adanya. Ia merupakan harta yang tidak pernah sirna.

Imam Al Ghazali memberi kiat-kiat agar kita memiliki sifat qona`ah,
Pertama, kesederhanaan dalam penghidupan dan pembelanjaan. Di dalam hadits disebutkan, “Pengaturan adalah separo dari penghidupan.”
Kedua, pendek angan-angan. Sehingga ia tidak bergelut dengan kebutuhan-kebutuhan sekunder.
Ketiga, hendaklah ia mengetahui apa yang dikandung di dalam sifat qona`ah berupa kemuliaan dan terhindar dari meminta-minta serta mengetahui kehinaan dan ketamakan.

Maka dengan cara ini, lanjut Al Ghazali, insya Allah ia akan bebas dari ketamakan.[ Al Ghazali, Mutiara Ihya `Ulumuddin, (terj.) Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2003), cet. XV, hlm. 265.]
Ingatlah, semua adalah titipan Allah, bukan milik manusia hakiki. Dan semuanya akan kembali pada-Nya yang tentunya dengan LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban)-nya masing-masing.

Sebagai penutup, cukuplah sebuah riwayat bahwa Rasulullah senantisa tidur di atas tikar, sehingga tampak membekas di pipi sang baginda yang mulia.
Apabila “Insan Kamil” itu yang kemuliannya meliputi alam semesta hanya memilih untuk menikmati hidupnya dengan penuh kesederhanaan, lalu siapakah kita, jika dibanding Rasulullah?

Rakyat Gaza Palestina Bantu Korban Mentawai dan Merapi

Sumber : Dakwatuna.com

Rakyat Gaza, Palestina, kembali menunjukkan rasa ukhuwah dan solidaritasnya kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang terus dilanda bencana, khususnya bencana tsunami di Mentawai dan letusan gunung Merapi di Yogyakarta. Rakyat Gaza menyumbang masing-masing sebesar dua ribu dolar AS untuk korban tsunami dan letusan gunung Merapi.
 
Ziad Said Mahmud asal Gaza, kordinator bantuan kemanusiaan internasional Palestina dan juga Direktur Al-Sarraa Foundation menjelaskan, sumbangan untuk korban bencana di Indonesia merupakan hasil keputusan musyawarah antara ulama dan rakyat Palestina, baik yang ada di Jalur Gaza maupun di Suriah. Demkian ujar Ziad dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Ahad (31/10).

Lebih lanjut, Ziad menjelaskan, “Kami tahu, jumlah ini tidak seberapa dibandingkan kesusahan yang sedang dialami saudara-saudara kami di Mentawai dan Merapi. Tapi terimalah ini sebagai tanda cinta kami. Kita satu tubuh. Kalian sakit, kami ikut sakit, sebagaimana kalian merasa sakit ketika melihat kami sakit dan menderita karena dijajah Israel,”

Bantuan untuk korban Tsunami di Mentawai sebesar 2 ribu dolar disampaikan lewat Ustadz Ferry Nur, Ketua KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina), sedangkan bantuan untuk korban letusan Gunung Merapi juga sebesar 2 ribu dolar disampaikan lewat Amirul Iman, Direktur Operasional Sahabat Al-Aqsha.

”Insya Allah, bantuan dari rakyat Gaza, Palestina akan kami sampaikan kepada mereka yang berhak secara langsung dan saya mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kepeduliannya kepada rakyat dan bangsa Indonesia,” ujar Ustad Ferry Nur.

Beberapa kali rakyat Gaza memberikan sumbangan untuk korban bencana di Indonesia. Sebelumnya pada 2006, rakyat Gaza juga memberikan sumbangan sebesar Rp 5 juta bagi korban gempa di Yogyakarta dan Klaten, Jawa tengah.

Begitu pula saat gempa bumi tektonik berkekuatan 7,6 skala richter di Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang, Sumatra Barat. Rakt Gaza tak lupa memberikan sumbangann yang diserahkan melalui pengurus KISPA. (Budi Raharjo/Rahmat Santosa Basarah/RoL)

Jumat, 29 Oktober 2010

15 Adab Agar Tilawah Memberi Bekas

Sumber : Dakwatuna.com oleh Mochamad Bugi

Agar Al-Qur’an memberi bekas ke dalam hati, ada adab-adab yang perlu Anda perhatikan saat membacanya. Berikut ini beberapa adab yang bisa Anda lakukan.
 
1. Pilihlah waktu yang terkategori waktu Allah ber-tajalli kepada hamba-hamba-Nya. Di saat itu rahmat-Nya memancar. Bacalah Al-Quran di waktu sepertiga terakhir malam (waktu sahur), di malam hari, di waktu fajar, di waktu pagi, dan di waktu senggang di siang hari.

2. Pilih tempat yang sesuai. Misalnya, di masjid atau sebuah ruangan di rumah yang dikosongkan dari gangguan dan kegaduhan. Meski begitu, membaca Al-Qur’an saat duduk dengan orang banyak, di kendaraan, atau di pasar, dibolehkan. Hanya saja kondisi seperti itu kurang maksimum untuk memberi bekas di hati Anda.

3. Pilih cara duduk yang sesuai. Sebab, Anda sedang menerima pesan Allah swt. Jadi, harus tampak ruh ibadahnya. Harus terlihat ketundukan dan kepasrahan di hadapan-Nya. Arahkan wajah Anda ke kiblat. Duduk terbaik seperti saat tasyahud dalam shalat. Jika capek, silakan Anda mengubah posisi duduk. Tapi, dengan posisi yang menunjukkan penghormatan kepada Kalam Allah.

4. Baca Al-Qur’an dalam keadaan diri Anda suci secara fisik. Harus suci dari jinabah. Bila Anda wanita, harus suci dari haid dan nifas. Berwudhulah. Tapi, Anda boleh membaca atau menghafal Al-Qur’an tanpa wudhu. Sebab, tidak ada nash yang mensyaratkan berwudhu sebagai syarat sah membaca Al-Qur’an. Bahkan, para ulama menfatwakan boleh membaca Al-Qur’an bagi wanita yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an saat ia sedang haid atau nifas dengan alasan darurat.

5. Sucikan semua indera Anda -lidah, mata, telinga, hati– yang berhubungan dengan tilawah Al-Qur’an dari perbuatan maksiat. Sesungguhnya Al-Qur’an itu seperti hujan. Batu tidak akan menyerap air hujan. Air hujan hanya berinteraksi dengan lahan yang siap menyerap segala keberkahan. Jadi, jangan Anda bungkus lidah, mata, telinga, dan hati dengan lapisan masiat, dosa, dan kemunkaran yang kedap dari limpahan rahmat membaca Al-Qur’an.

6. Hadirkan niat yang ikhlas hanya kepada Allah swt. Dengan begitu tilawah yang Anda lakukan akan mendapat pahala. Ketahuilah, amal dinilai berdasarkan niat. Sedangkan ilmu, pemahaman, dan tadabbur adalah nikmat dan rahmat yang murni dari Allah. Dan rahmat Allah tidak diberikan kepada orang yang hatinya bercampur aduk dengan niat-niat yang lain.

7. Berharaplah akan naungan dan lindungan Allah swt. seperti orang yang kapalnya sedang tenggelam dan mencari keselamatan. Dengan perasaan itu Anda akan terbebas dari rasa memiliki daya dan upaya, ilmu, akal, pemahaman, kecerdasan, serta keyakinan secara pasti. Sebab, kesemuanya itu tidak akan berarti tanpa Allah swt. menganugerahkan tadabbur, pemahaman, pengaruh, dan komitmen untuk beramal kepada diri Anda.

8. Bacalah isti’adzah dan basmalah. “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (An-Nahl: 98). Basmalah dibaca saat awal membaca surat di awal, kecuali surat At-Taubah. Membaca basmalah juga dianjurkan saat Anda membaca Al-Qur’an di tengah surat dan ketika Anda memutus bacaan karena ada keperluan kemudian meneruskan bacaan Anda. Membaca basamalah adalah tabarruk (mencari berkah) dan tayammun (mencari rahmat) dengan menyebut nama Allah swt.

9. Kosongkan jiwa Anda dari hal-hal yang menyita perhatian, kebutuhan, dan tuntutan yang harus dipenuhi sebelum membaca Al-Qur’an. Jika tidak, semua itu akan terbayang saat Anda membaca Al-Qur’an. Pintu tadabbur pun tertutup. Jadi, selesaikan dulu urusan Anda jika sedang lapar, haus, pusing, gelisah, kedinginan, atau ingin ke toilet. Setelah itu, baru baca Al-Qur’an dengan haqul tilawah.

10. Saat membaca, batasi pikiran Anda hanya kepada Al-Qur’an saja. Pusatkan pikiran, buka jendela pengetahuan, dan tadabburi ayat-ayat dengan sepenuh jiwa, perasaan, cita rasa, imajinasi, pemikiran, dan bisikan hati. Dengan begitu, Anda akan merasakan limpahan rahmat dan lezatnya membaca Al-Qur’an.

11. Hadirkan kekhusyu’an. Menangislah saat membaca ayat-ayat tentang azab. Hadirkan azab itu begitu nyata dalam penglihatan Anda dengan menyadari dosa-dosa dan maksiat yang masih lekat dengan diri Anda. Jika Anda tidak mampu berbuat seperti itu, tangisilah diri Anda yang tidak mampu tersentuh dengan ayat-ayat yang menggambarkan kedahsyatan azab neraka.

12. Rasakan keagungan Allah swt. Yang Mahabesar yang dengan kemurahannya memancarkan nikmat dan anugerah-Nya kepada Anda. Pengagungan ini akan menumbuhkan rasa takzim Andfa kepada Allah dan Kalam-Nya. Dengan begitu interasi, tadabbur, dan tarbiyah Anda dengan Al-Qur’an akan memberi bekas, makna, hakikat, pelajaran, dan petunjuk yang sangat luar biasa manfaatnya.

13. Perhatikan ayat-ayat untuk ditadabburi. Pahami maknanya. Resapi hakikat-hakikat yang terkandung di dalamnya. Kaitkan juga dengan berbagai ilmu, pengetahuan, dan pelajaran yang bisa menambah pengayaan Anda tentang ayat-ayat tersebut. Inilah tujuan tilawah. Tilawah tanpa tadabbur, tidak akan melahirkan pemahaman dan memberi bekal apa pun pada Anda. Al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan Anda. Tidak sampai ke hati Anda.

14. Hanyutkan perasaan dan emosi Anda sesuai dengan ayat-ayat yang Anda baca. Bergembiralah saat membaca kabar gembira. Takutlah saat membaca ayat peringatan dan tentang siksaan. Buka hati saat membaca ayat tentang perintah beramal. Koreksi diri saat bertemu tilawah Anda membaca sifar-sifat orang munafik. Resapi ayat-ayat yang berisi doa. Dengan begitu hati Anda hidup dan bergetar sesuai dengan sentuhan setiap ayat. Inilah ciri orang beriman yang sejati dengan imannya (Al-Anfal: 2).

15. Rasakan bahwa diri Anda sedang diajak berbicara Allah swt. lewat ayat-ayat-Nya. Berhentilah sejenak saat bertemu dengan ayat yang didahului dengan kalimat “Wahai orang-orang yang beriman…, hai manusia….” Rasakan setiap panggilan itu hanya untuk Anda. Dengan begitu lanjutan ayat yang berisi perintah, larangan, teguran, peringatan, atau arahan akan dapat Anda respon dengan baik. Kami dengar dan kami taat. Bukan kami dengarin lalu kami cuekin.

Ibu, Sang Arsitek Peradaban

 
Suatu malam yang tenang dan hening. Semua orang telah beranjak ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Menarik selimut hingga terlindungi dari hawa dingin yang melingkupi cakrawala Madinah. Namun, seorang laki-laki yang disadarkan oleh rasa tanggung jawab sebagai pemimpin menyingkap selimutnya. Dia keluar menyusuri lorong-lorong Madinah yang mencekam. Merayapi jalan-jalan yang sepi dari tapak kaki manusia.
 
Dia keluar seorang diri menembus kegelapan malam. Barangkali ia menjumpai musafir yang tidak menemukan tempat bermalam. Atau orang yang merintih kesakitan. Atau orang lapar yang belum menemukan sesuap makanan untuk mengganjal perutnya. Barangkali ada urusan rakyatnya yang luput dari pengawasannya. Atau mungkin ada domba yang tersesat jauh di pinggir sungai Eufrat. Allah akan menanyakannya dan menghisabnya kelak.

Jangan heran! Lelaki tersebut adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab RA.
Setelah sekian lama mengitari Madinah dan mulai merasakan lelah pada sendi-sendinya, Umar bersandar pada salah satu dinding rumah kecil di pinggiran kota Madinah. Dia beristirahat sejenak sebelum melanjutkan langkahnya menuju masjid.

Kala itu, sayup-sayup terdengar olehnya suara dua orang wanita dari dalam rumah kecil tempat ia bersandar. Percakapan seorang ibu dengan putrinya. Percakapan dimana sang putri menolak untuk mencampur susu perah dengan air putih.
Sang ibu berkata, “Campurlah susu itu dengan air!” Sang putri menjawab, “Sesungguhnya, Amirul Mukminin telah melarang kita untuk mencampur susu dengan air. Tidakkah Ibu mendengar juru bicaranya menyampaikan larangan tersebut?”
“Umar tidak melihat kita. Dia tidak akan tahu apa yang kita lakukan di saat-saat terakhir malam ini.” Jawab ibunya.
Putrinya pun menjawab seketika, “Wahai Ibuku, walaupun Umar tidak melihat namun Tuhan Umar melihat kita. Demi Allah, saya tidak akan melakukan apa yang dilarang-Nya.”
Ucapan putri tadi menyejukkan hati Umar. Jawaban yang menggambarkan kejujuran dan keimanan.

Akhirnya Umar menikahkan putranya, Ashim, dengan gadis yang baik itu. Gadis itu bernama Ummu Ammarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi’ah Ats-Tsaqafi. Kelak ia akan melahirkan dua anak gadis yang diberi nama Laila dan Hafshah. Laila kemudian dikenal dengan panggilan Ummu Ashim. Ummu Ashim kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Bani Marwan. Dari pernikahan yang suci ini lahirnya seorang khalifah yang mulia, Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul Aziz yang berjuluk Khalifah Kelima adalah pemimpin yang sang bersahaja. Tingkat keimanannya tidak perlu diragukan lagi. Umar hafal Quran sejak kecil. Matanya selalu banjir air mata karena rasa takutnya pada Allah. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, tidak ada yang menjadi mustahik. Tidak ada orang yang berhak menerima zakat. Rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. Sementara Umar hidup sangat sederhana.

Apa yang menjadikan Umar memiliki pribadi yang begitu luar biasa? Ummu Ashim, ibunda Umar, mendidiknya sejak kecil dengan penuh kasih sayang. Mengajarkan Umar Quran dan cinta pada Allah. Ia selalu menjaga dan mengawasi putranya.
Ummu Ashim juga dikenal sebagai wanita yang sangat dermawan dan menyayangi orang-orang yang lemah. Ummu Ashim mewakili gambaran ideal tentang sosok seorang ibu. Demikian juga ibunda dari Ummu Ashim. Rasa takutnya pada Allah menjadikannya pribadi yang unggul.

Keteladanan wanita-wanita tersebut menjadi bukti vitalnya seorang ibu dalam membentuk sebuah generasi. Seorang penyair mengungkapkan bahwa ibu adalah sebuah sekolah. Apabila dipersiapkan dengan baik, berarti telah mempersiapkan suatu bangsa dengan dasar yang baik. Tidak berlebihan tentu saja. Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ibu bagaikan wadah yang mengajarkan dan mendidik berbagai macam ilmu dalam kehidupan anak-anaknya dengan cinta dan kasih sayang. Sebagai pendidik awal, ibulah yang pertama kali meletakkan fondasi dasar –terutama dalam aspek keimanan- kepada anak dalam proses pendewasaan mental dan pematangan jiwa.

Gambaran pentingnya tugas seorang ibu tercakup dalam pernyataan yang diungkapkan oleh DR. A. Madjid Katme, Presiden Asosiasi Dokter Muslim di London dalam konferensi dunia tentang wanita di Beijing. Berikut tuturannya :
“Tugas keibuan adalah pekerjaan yang paling terhormat dan membutuhkan keterampilan di dunia ini. Dan terlaksananya tugas ini sangat penting bagi pemeliharaan dan perlindungan anak terutama di masa-masa awal pertumbuhannya. Tak ada satu jenis pekerjaan pun yang dapat merampas seorang ibu dari tugas keibuannya. Dan tak ada seorang pun yang dapat mengambil alih tugas keibuan tersebut.”

Namun, begitu banyak muslimah yang kurang bahkan tidak memahami pentingnya peran seorang ibu. Peran yang, menurut Katme, tidak bisa digantikan oleh siapapun. Menjadi ibu full time dianggap hanya ‘pekerjaan’ tidak penting. Tidak perlu sekolah yang tinggi, tidak perlu pintar untuk menjadi seorang ibu. Salah! Anda justru harus menjadi muslimah yang sangat cerdas untuk bisa memenuhi peran keibuan.

Kemuliaan peran keibuan dewasa ini pun semakin tergerus oleh serangan barat. Setelah Quran dan Sunnah Nabi, hal yang kerap kali diserang oleh para orientalis adalah wanita dan perannya dalam keluarga.

Ide-ide feminisme, kesetaraan gender, dan kebebasan wanita saat ini gencar disuarakan barat kepada umat Islam. Kita pun tahu, tidak sedikit yang terjebak untuk mencicipi racun atas nama kebebasan wanita tersebut. Akhirnya, hancurlah kemuliaan dan martabat wanita diikuti dengan runtuhnya pilar-pilar keluarga dan pendidikan anak.

Islam telah mengajarkan kemuliaan seorang ibu. Sejarah telah mencatat banyak orang hebat yang lahir dari seorang ibu yang juga hebat. Tak pernah ada cacat pada peran keibuan. Tak pernah ada cela pada predikat seorang ibu. Maka tak berlebihan bila ada ungkapan bahwa surga ada di telapak kaki ibu.

Muslimah perlu menyadari peran vitalnya sebagai seorang ibu. Ibu bukan hanya tiga huruf, I – B – U, yang begitu sederhana hingga mudah dilupakan. Ibu bukan hanya predikat sepele sehingga perannya tidak perlu dipenuhi.

Ibu adalah simpul penting sebuah sambungan peradaban. Dialah yang akan mencetak sebuah generasi. Ibu adalah tiang yang akan mengibarkan kembali bendera kejayaan Islam lewat pendidikannya terhadap keluarga. ibu, tak pernah bermakna kecil. Karena Allah lah yang menjadikannya begitu mulia. (hdn)