Selasa, 27 Juli 2010

Hidayah Melalui Anakku


Sahibul hikayat dalam kisah ini adalah warga Madinah Nabawiyah, ia menuturkan sebagai berikut, “Aku adalah seorang pemuda umur 37 tahun, telah berkeluarga dengan beberapa anak. Aku telah banyak melakukan yang diharamkan Allah. Jarang sekali shalat berjamaah, kecuali pada momen-momen tertentu saja, sekadar formalitas di mata orang lain. Hal itu disebabkan karena aku merasa sebagai orang jahat. Setan selalu mengikatku setiap saat. Anakku berumur 7 tahun, namanya Marwan, ia tuli dan bisu, tetapi ia telah banyak mereguk nilai-nilai keimanannya dari istriku.
 
Pada suatu malam aku dan Marwan sedang berada di rumah, aku mulai merencanakan apa yang akan aku lakukan malam ini bersama teman-teman, dan di mana lokasinya. Saat itu selepas shalat Maghrib, dengan bahasa isyarat anakku mengatakan sesuatu, aku sangat paham kalau dia mengingatkan diriku untuk shalat, “Mengapa Bapak tidak shalat?” begitu kira-kira yang ingin dikatakannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya ke langit, lagi-lagi dengan isyarat ia mengultimatum bahwa Allah akan melihatku.

Terkadang aku kepergok anakku sedang berbuat kemunkaran, aku takjub dengan bahasa isyaratnya, ia menangis di depanku, lalu aku segera merangkulnya, tapi ia lari dariku, ia segera lari ke tempat wudhu, lalu datang kembali menghampiriku seraya memberi isyarat agar jangan pergi dahulu, tiba-tiba ia shalat di depanku kemudian ia bangun dan bergegas mengambil mushaf dan meletakkannya di hadapanku, lalu ia membukanya dengan hanya sekali buka, kemudian jari telunjuknya menunjuk kepada salah satu ayat dalam surat  Maryam :

يَاأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا

“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (QS. Maryam: 45)

Setelah itu anakku langsung menangis, dan aku pun spontan ikut menangis, lalu ia bangun dan mengusap air mataku, kemudian ia mencium kepala dan tanganku, dan lagi-lagi dengan bahasa isyarat ia berkata kepadaku, “Wahai ayahku shalatlah sebelum engkau dimasukkan ke dalam liang lahat, dan engkau akan menuai azab.” Demi Allah aku sangat takut dan gemetar, tak ada yang mengetahui keadaanku saat itu kecuali Allah, aku segera bangun, aku seperti orang bingung keluar masuk kamar, sementara Marwan, anakku, terus menguntit sambil terus menatapku dengan tatapan yang aneh, lalu ia berkata, “Ayo, ayah ke masjid Besar!” maksudnya masjid Nabawy. “Tidak ah, ke masjid dekat rumah saja” bujukku kepadanya. Anakku tetap bersikeras mengajak ke Masjid Nabawy, aku pun segera menggandeng tangannya menuju masjid Nabawy, aku masih takut dan gemetar, sementara anakku seperti tidak berhenti sekejap pun menatapku.

Sesampainya di masjid Nabawy, aku segera menuju Raudah yang saat itu telah penuh sesak dengan manusia menjelang shalat Isya. Pada saat shalat Isya aku mendengar sang Imam membaca salah satu ayat berikut :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah setan. barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 21)

Aku tak mampu menguasai gelora jiwaku, aku tak kuasa menahan tangisku, aku menangis dan Marwan pun ikut menangis karena mendengar tangisku, di tengah shalat Marwan mengeluarkan sapu tangan dari saku bajuku lalu mengusap air mataku. Selepas shalat aku masih tetap menangis, sementara Marwan terus mengusap air mataku, tidak terasa aku telah bersimpuh di masjid Nabawy selama satu jam penuh, sehingga anakku berkata, “Sudahlah Ayah…, jangan takut!” Kami pun bergegas pulang ke rumah, malam  itu terasa malam yang paling indah dalam hidupku, aku seperti dilahirkan kembali ke dunia, istriku pun kemudian hadir di dekatku, juga anak-anakku. Kami semua menumpahkan tangis, meski anak-anakku yang lain tidak mengerti apa yang terjadi. Lalu Marwan berkata, “Ayah tadi shalat di Masjid Nabawy.” Kulihat istriku gembira karena buah tarbiyahnya terbukti.

Aku ceritakan kepada istriku apa yang telah dilakukan Marwan terhadapku, aku katakan kepadanya, “Demi Allah aku ingin tanya kepadamu, apakah engkau telah mendikte Marwan membuka Mushaf dan menunjuk salah satu ayat dalam surat Maryam yang ditunjukkan kepadaku?” Tetapi istriku bersumpah “demi Allah” sampai tiga kali. Kemudian istriku berucap, “Alhamdulillah atas segala hidayah ini.” Malam itu adalah malam yang paling berkesan. Sejak saat itu aku pun tidak pernah tinggal shalat berjamaah di masjid. Dan aku mulai memisahkan diri dari teman-teman burukku dan telah merasakan kelezatan iman. Seandainya Anda melihatku saat itu Anda akan dapat melihat hal itu dari wajahku.

Sejak peristiwa itu hidupku terasa bahagia, penuh cinta dan harmonis antara aku, istri, dan anak-anakku, khususnya anakku Marwan yang tuli dan bisu. Cintaku sangat besar kepadanya. Bagaimana tidak! Dari kedua tangannyalah tersuguhkan kepadaku hidayah Allah SWT.

Akhukum Abu Marwan
Madinah Al-Munawwarah
Disadur dari kitab Al-‘Aiduna ilallah

Rabu, 21 Juli 2010

Bersedekahlah, Wahai Para Wanita

Sumber : dakwatuna.com

Pernahkah Anda berdagang mendapat keuntungan sepuluh kali lipat? Alangkah bodohnya kita jika menolak mendapat keuntungan tujuh ratus kali lipat!
Keshahihan transaksi itu Rasulullah saw. sendiri yang menjamin. “Barangsiapa yang menafkahkan hartanya untuk membantu peperangan di jalan Allah, maka akan dilipatgandakan pahalanya menjadi tujuh ratus,” begitu kata Rasulullah saw. (Tirmidzi, hadits nomor 1625)

Karena itu tak datang kepada Rasulullah saw. seorang lelaki dengan membawa seekor untanya, seperti yang diceritakan Abu Mas’ud Al-Anshari r.a. Ia berkata, “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. dengan menuntun seekor unta yang dilubangi hidungnya. Kemudian ia berkata, ‘Unta ini saya pergunakan untuk berperang di jalan Allah, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Kamu akan mendapatkan tujuh ratus unta semisal itu pada hari kiamat, semua dilubangi hidungnya.’” (Muslim, hadits nomor 3508)

Sungguh ini kabar gembira dari Rasulullah saw. Apa yang kita sedekahkan di jalan Allah, kita akan mendapat gantinya hal serupa tujuh ratus kali lipat. Jika kita wakafkan satu rumah untuk majelis taklim, Allah swt. akan mengembalikan 700 rumah kepada kita. Jika kita wakafkan sebuah mobil Kijang Inova, Allah swt. akan membalas dengan 700 mobil Kijang Inova semisal yang kita wakafkan.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menunbuhkan tujuh tangkai; pada setiap tangkai seratus butir. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)

Begitulah janji Allah kepada orang yang berinfak dengan niat yang ikhlas karena Allah swt. semata. Dan infaknya pun disalurkan kepada tempat yang benar, kepada orang-orang yang berhak. Rasulullah saw. mengajarkan perihal ini kepada para sahabatnya. Bahkan, kepada Bilal yang termasuk kalangan sahabat yang fakir secara finansial. “Wahai Bilal, berinfaklah! Jangan takut kekurangan dari Dzat yang mempunyai langit,” demikian sabda Rasulullah saw. (Shahih Al-Jami, hadits nomor 1612)
Jika Bilal yang miskin saja Rasulullah saw. menganjurkan berinfak, bagaimana dengan sahabat yang berpunya?

Anjuran berinfak bukan saja kepada kaum lelaki. Rasulullah saw. bahkan berwasiat khusus kepada kaum wanita. Saat bertemu dengan Asma’, Rasulullah saw. berkata, “Berinfaklah dan janganlah kamu menghitung-hitung hartamu, karena Allah juga akan menghitung-hitung rezeki-Nya untukmu. Dan janganlah engkau bakhil dengan hartamu, karena Allah juga akan bakhil kepadamu.” (Bukhari, hadits nomor 2420)

Pada kesempatan lain, saat usai shalat Idul Adha di sebuah tanah lapang, Rasulullah saw. berseru, “Wahai manusia, bersedekahlah kalian!” Kemudian beliau menuju ke tempat para wanita dan bersabda, “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian semua, karena aku telah melihat banyak penghuni neraka adalah dari golongan kalian.”

Mereka berkata, “Ya Rasulullah, mengapa hal itu bisa terjadi?” Rasulullah saw. menjawab, “Karena kalian sering melaknat dan mengingkari pemberian suami. Aku tidak pernah melihat golongan yang lemah akal dan agamanya, namun dapat menghilangkan kejernihan akal seorang lelaki yang teguh selain dari kalian, wahai para wanita.”

Setelah mendengar anjuran itu, para wanita itu segera melepas anting-anting dan cincin mereka. Para shahabiyah itu bersegera menunaikan anjuran Rasulullah saw. Bersedekah.
Kemudian Rasulullah saw. pergi. Sesampai di rumah, datanglah Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud. Ia meminta izin untuk bertemu. Salah seorang istri beliau pun berkata, “Wahai Rasulullah, ini ada Zainab.” Kemudian Rasulullah saw. bertanya, “Zainab siapa?” “Zainab istri Abdullah bin Mas’ud,” jawab istri beliau. Rasulullah saw. berkata, “Izinkan ia masuk.”

Setelah masuk, Zainab berkata, “Wahai Nabi Allah, hari ini Engkau telah menyuruh kami untuk bersedekah, dan aku mempunyai perhiasan yang ingin aku sedekahkan, namun Ibnu Mas’ud beranggapan bahwa ia dan anak-anaknya yang lebih berhak menerima sedekahku.” Rasulullah saw. bersabda, “Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu adalah orang-orang yang paling berhak menerima sedekahmu.” (Tirmidzi, hadits nomor 664)

Begitulah para wanita di zaman Rasululllah saw. Mereka selalu bersegera jika melihat peluang untuk beramal dan berbuat kebajikan. Tidak berpikir dua kali. Sungguh beda dengan kita. Meski setiap hari melihat korban bencana di televisi dan membaca berita bayi-bayi menderita busung lapar di koran, semua itu tidak menggerakkan tangan kita untuk mengulurkan bantuan. Masih asyik dengan hobi kita bershopping ria ke mall-mall.

Allah Itu Dekat

Sumber: Dakwatuna.com

“Dan Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (bimbingan)”. (Al-Baqarah: 186)
 
Ayat ini meskipun tidak berbicara tentang Ramadhan seperti pada tiga ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 183-185) dan satu ayat sesudahnya (Al-Baqarah: 187), namun keterkaitannya dengan Ramadhan tetap ada. Jika tidak, maka ayat ini tidak akan berada dalam rangkaian ayat-ayat puasa seperti dalam susunan mushaf. Karena setiap ayat Al-Qur’an menurut Imam Al-Biqa’I merupakan satu kesatuan (wahdatul ayat) yang memiliki korelasi antar satu ayat dengan yang lainnya, baik dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Disinilah salah satu bukti kemu’jizatan Al-Qur’an.

Kedekatan Allah dengan hambaNya yang dinyatakan oleh ayat di atas lebih khusus daripada kedekatan yang dinyatakan dalam surah Qaaf ayat 16: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” yang bersifat umum. Kedekatan Allah dengan hambaNya dalam ayat di atas merupakan kedekatan yang sinergis, kedekatan yang aplikatif, tidak kedekatan yang hampa dan kosong, karena kedekatan ini terkait erat dengan doa dan amal shalih yang berhasil ditunjukkan oleh seorang hamba di bulan Ramadhan, sehingga merupakan motifasi terbesar yang memperkuat semangat ber Ramadhan dengan baik dan totalitas.

Dalam konteks ini, korelasi ayat doa dan kedekatan Allah yang khusus dengan hambaNya dengan ayat-ayat puasa (Ayatush Shiyam) paling tidak dapat dilihat dari empat hal berikut ini:

Pertama, Salah satu dari pemaknaan Ramadhan sebagai Syahrun Mubarok yang menjanjikan beragam kebaikan adalah Syahrud Du’a dalam arti bulan berdoa atau lebih jelas lagi bulan dikabulkannya doa seperti yang diisyaratkan oleh ayat ini. Karenanya Rasulullah saw sendiri menjamin dalam sabdanya: “ Bagi orang yang berpuasa doa yang tidak akan ditolak oleh Allah swt.” (HR. Ibnu Majah). Kondusifitas ruhiyah seorang hamba di bulan Ramadhan yang mencapai puncaknya merupakan barometer kedekatannya dengan Allah yang juga berarti jaminan dikabukannya setiap permohonan dengan modal kedekatan tersebut.  Dalam kitab Al-Ma’arif As-Saniyyah Ibnu Qayyim menuturkan: “Jika terhimpun dalam doa seseorang kehadiran dan keskhusyuan hati, perasaan dan kondisi kejiwaan yang tunduk patuh serta ketepatan waktu yang mustajab, maka tidaklah sekali-kali doanya ditolak oleh Allah swt. Padahal di bulan Ramadhanlah kondisi dan situasi ‘ruhiyah’ yang terbaik hadir bersama dengan keta’atan dan kepatuhannya dengan perintah Allah swt.

Kedua, Ungkapan lembut Allah “ Sesungguhnya Aku dekat” merupakan komitmen Allah untuk senantiasa dekat dengan hambaNya, kapanpun dan dimanapun mereka berada.  Namun kedekatan Allah dengan hambaNya lebih terasa di bulan yang penuh dengan keberkahan ini dengan indikasi yang menonjol bahwa hambaNya juga melakukan pendekatan yang lebih intens dengan berbagai amal keshalihan yang mendekatkan diri mereka lebih dekat lagi dengan Rabbnya. Padahal dalam sebuah hadits qudsi Allah memberikan jaminan: “Tidaklah hambaKu mendekat kepadaku sejengkal melainkan Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan berjalan melainkan Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari dan sebagainya”. (Muttafaqun Alaih)

Ketiga, Istijabah (falyastajibu li) yang dimaknai dengan kesiapan hamba Allah untuk menyahut dan melaksanakan setiap panggilanNya merupakan media dikabulkannya doa seseorang. Hal ini pernah dicontohkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Masing-masing dari ketiga orang tersebut menyebutkan amal shalih yang mereka lakukan sebagai media dan wasilah mereka berdoa kepada Allah. Dan ternyata Allah swt serta merta memenuhi permohonan masing-masing dari ketiga orang itu dengan ‘jaminan amal shalih yang mereka lakukan’.  Padahal bulan Ramadhan adalah bulan hadirnya segala kebaikan dan berbagai jenis amal ibadah yang tidak hadir di bulan yang lain; dari ibadah puasa, tilawah Al-Qur’an, Qiyamul Lail, Zakat, infaq, Ifthorus Shoim dan beragama ibadah lainnya. Kesemuanya merupakan rangkaian yang sangat erat kaitannya dengan pengabulan doa seseorang di hadapan Allah swt.  Dalam hal ini, Abu Dzar menyatakan: “Cukup doa yang sedikit jika dibarengi dengan kebaikan dan keta’atan seperti halnya garam yang sedikit cukup untuk kelezatan makanan”.

Keempat, Kata ‘la’alla secara bahasa menurut pengarang Tafsir Al-Kasyaf berasal dari kata ‘alla’ yang kemudian ditambah dengan lam di awal yang berarti ‘tarajji’ merupakan sebuah harapan yang langsung dari Zat Yang Maha memenuhi segala harapan. Logikanya, jika ada harapan maka ada semangat, apalagi yang berharap adalah Allah swt terhadap hambaNya sehingga tidak mungkin hambaNya menghampakan harapan Tuhan mereka. Karenanya rangkaian ayat-ayat puasa diawali dengan khitab untuk orang-orang yang beriman: “hai orang-orang yang beriman”. Dalam konteks ini, setiap hamba yang selalu mendekatkan diri dengan Allah tentu besar harapannya agar senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk Allah swt. Demikian redaksi ‘La’alla’ yang selalu mengakhiri ayat-ayat puasa termasuk ayat doa ini, menjadi korelasi tersendiri dalam bentuk keseragaman dengan ayat-ayat puasa sebelum dan sesudahnya ‘La’allakum Tattaqun, La’allakum Tasykurun, La’allahum Yarsyudun, dan La’allahum Yattaqun’.

Demikian pembacaan terhadap satu ayat yang disisipkan dalam rangkaian ayat-ayat puasa. Tentu tidak semata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa. Namun lebih dari itu, terdapat korelasi dan hikmah yang patut diungkap untuk memperkaya pemaknaan terhadap Ramadhan yang terus akan mendatangi kita setiap tahun. Karena pemaknaan yang komprehensif terhadap ayat-ayat puasa akan turut mewarnai aktifitas Ramadhan kita yang berdampak pada peningkatan kualitas keimanan kita dari tahun ke tahun. Saatnya momentum special kedekatan Allah dengan hamba-hambaNya di bulan Ramadhan dioptimalisasikan dengan doa yang diiringi dengan amal shalih dan keta’atan kepadaNya.

Selasa, 20 Juli 2010

Mempersiapkan Anak Yang Menyejukkan Pandangan

Sumber : Dakwatuna.com
Dan orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah untuk kami isteri-isteri dan anak keturunan kami yang menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqan: 75)
 
Imam Ibnu Katsir memahami qurratu a’yun dalam ayat ini sebagai anak keturunan yang taat dan patuh mengabdi kepada Allah. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa keluarga yang dikategorikan qurratu a’yun adalah mereka yang menyenangkan pandangan mata di dunia dan di akhirat karena mereka menjalankan ketaatan kepada Allah, dan memang kata Hasan Al-Bashri tidak ada yang lebih menyejukkan mata selain dari keberadaan anak keturunan yang taat kepada Allah swt.

Secara bahasa, anak dalam bahasa Arab lebih tepat disebut dengan istilah At-ThiflAl-Mu’jam al-Wasith mengartikan kata At-Thifl sebagai anak kecil hingga usia baligh. Kata ini dapat dipergunakan untuk menyebut hewan atau manusia yang masih kecil dan setiap bagian kecil dari suatu benda, baik itu tunggal.
  
Pengarang Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan anak sebagai keturunan kedua. Disamping itu anak juga berarti manusia yang masih kecil. Anak juga pada hakekatnya adalah seorang yang berada pada suatu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa seiring dengan pertambahan usia. Dalam kontek ini, maka anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa (orang tua dan para pendidik).

Berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebut kata Ath-Thifl yang berarti anak yang masih kecil sebelum usia baligh, maka terdapat empat ayat yang menyebut kata ini secara tekstual. Dua ayat berbicara tentang proses kejadian manusia yang berawal dari air mani, yaitu surah Al-Hajj: 5 dan surah Ghafir: 67. Sedangkan kedua ayat lainnya yang menyebut kata At-Thifl terdapat dalam surah An-Nur : 31 dan 59 yang menjelaskan tentang adab seorang anak di dalam rumah terhadap kedua orang tuanya.

Yang paling mendasar dalam pembahasan seputar anak tentu tentang kedudukan anak dalam perspektif Al-Qur’an agar dapat dijadikan acuan oleh orang tua dan para pendidik untuk menghantarkan mereka menuju kebaikan dan memelihara serta meningkatkan potensi mereka. Al-Qur’an menggariskan bahwa anak merupakan karunia sekaligus amanah Allah swt, sumber kebahagiaan keluarga dan penerus garis keturunan orang tuanya. Keberadaan anak dapat menjadi:
1) Penguat iman bagi orang tuanya [QS: 37: 102] seperti yang tergambar dalam kisah Ibrahim ketika merasa kesulitan melakukan titah Allah untuk menyembelih Ismail, justru Ismail membantu agar ayahnya mematuhi perintah Allah swt untuk menyembelihnya,
2) Anak bisa menjadi do’a untuk kedua orang tuanya. [QS: 17: 24],
3) Anak juga dapat menjadi penyejuk hati (Qurratu A’ayun), [QS: 26: 74],
4) menjadi pendorong untuk perbuatan yang baik [QS: 19: 44]. Akan tetapi, pada masa yang sama, anak juga dapat menjadi
5) fitnah, [QS: 8; 28] 6), bahkan anak dapat menjelma menjadi musuh bagi orang tuanya. [QS: 65: 14]

Maka dari itu, para ulama sepakat akan pentingnya masa kanak-kanak dalam periode kehidupan manusia. Beberapa tahun pertama pada masa kanak-kanak merupakan kesempatan yang paling tepat untuk membentuk kepribadian dan mengarahkan berbagai kecenderungan ke arah yang positif. Karena pada periode tersebut kepribadian anak mulai terbentuk dan kecenderungan-kecenderunganya semakin tampak. Menurut Syekh Fuhaim Musthafa dalam karyanya Manhaj al-Thifl al-Muslim: Dalilul Mu’allimin wal Aba’ Ilat-Tarbiyati Abna masa kanak-kanak ini juga merupakan kesempatan yang sangat tepat untuk membentuk pengendalian agama, sehingga sang anak dapat mengetahui, mana yang diharamkan oleh agama dan mana yang diperbolehkan.

Dalam hal ini, keluarga merupakan tempat pertama dan alami untuk memelihara dan menjaga hak-hak anak. Anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang secara  fisik, akal dan jiwanya, perlu mendapatkan bimbingan yang memadai. Di bawah bimbingan dan motifasi keluarga yang continue akan melahirkan anak-anak yang dikategorikan ‘qurratu a’yun’.

Untuk mewujudkan semua itu, maka sejak awal Islam telah menyoroti berbagai hal di antaranya penegasan bahwa awal pendidikan seorang anak dimulai sejak sebelum kelahirannya, yaitu sejak kedua orang tuanya memilih pasangan hidupnya. Karena pada dasarnya anak akan tumbuh dan berkembang banyak tergantung dan terwarnai oleh karakter yang dimiliki dan ditularkan oleh kedua orang tuanya. Di antara tujuan disyariatkan pernikahan adalah terselamatkannya keturunan dan terciptanya sebuah keluarga yang hidup secara harmonis yang dapat menumbuhkan nilai-nailai luhur dan bermartabat.

Dalam konteks ini, Al-Ghazali yang kemudian dikuatkan prinsip-prinsipnya oleh Ibn Qayyim al-Jauzyyah menegaskan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga sangatlah penting, oleh kerena itu pelaksanaannya harus dilakukan dengan baik, dengan pembiasaan dan contoh-contoh teladan, memberikan permainan yang wajar dan mendidik, jangan sampai memberikan permainan yang mematikan hati, merusak kecerdasan, menghindarkannya dari pergaulan yang buruk. Pengaruh yang positif diharapkan akan menjadi kerangkan dasar bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Membangun kerangka dasar pada anak usia dini dapat diibaratkan membangun sebuah bangunan bertingkat. Bangunan seperti itu tentu saja akan dimulai dengan membuat kerangka pondasi yang sangat kokoh yang mampu menopang bagian bangunan yang ada di atasnya. Demikian pula anak-anak yang memiliki pondasi yang kuat dan kokoh ketika usia dini maka akan menjadi dasar dan penopang bagi perkembangan anak memasuki pendidikan selanjutnya, termasuk mempersiapkan hidupnya di tengah masyarakat.

Menurut pandangan Syekh Mansur Ali Rajab dalam karyanya Ta’ammulat fi falsafah al-Akhlaq terdapat paling tidak lima aspek yang dapat diturunkan dari seseorang kepada anaknya, yaitu:
1). Jasmaniyah, seperti warna kulit, bentuk tubuh, sifat rambut dan sebagainya.
2). Intelektualnya, seperti, kecerdasan dan atau kebodohan.
3) tingkah laku, seperti tingkah laku terpuji, tercela, lemah lembuat, keras kepala, taat, durhaka.
4) alamiyah, yaitu pewarisan internal yang dibawa sejak kelahiran tanpa pengaruh dari faktor eksternal.
5) sosiologis, yaitu pewarisan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.

Ibn Qayyim Al-Jauzyyah dalam salah satu karyanya yang monumental tentang pendidikan anak ’Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud’ menegaskan bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, suci dan selamat dari penyimpangan dan menolak hal-hal buruk yang membahayakan dirinya. Namun lingkungan yang rusak dan pergaulan yang tidak baik akan menodai kefitrahan anak dan dapat mengakibatkan berbagai penyimpangan dan pada gilirannya akan menghambat perkembangan akal fikirannya. Sehingga tujuan akhir dari dari pendidikan anak prasekolah adalah memberikan landasan iman dan mental yang kokoh dan kuat pada anak, sehingga akan hidup bahagia bukan saja di saat ia dewasa dalam kehidupannya di dunia, tetapi juga bahagia di akherat, bahkan diharapkan dapat mengikut sertakan kebahagiaan itu untuk kedua orang tua, guru dan mereka yang mendidiknya.

Sehingga pendidikan anak usia dini pada hakekatnya juga merupakan intervensi dini dengan memberikan rangsangan edukasi sehingga dapat menumbuhkan potensi-potensi tersembunyi (hidden potency) serta mengembangkan potensi tampak (actual potency) yang terdapat pada diri anak. Upaya mengenal dan memahami barbagai ragam potensi anak usia dini merupakan persyaratan mutlak untuk dapat memberikan rangsangan edukasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan perkembangan potensi tertentu dalam diri anak. Upaya ini dapat dilalukan dengan memahami berbagai dimensi perkembangan anak seperti bahasa, intelektual, emosi, social, motorik konsep diri, minat dan bakat.

Tujuan lain dari pemberian program simulasi edukasi adalah melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi yang dimiliki anak. Gangguan ini dapat muncul dari dua faktor, yakni faktor internal yang terdapat dalam diri anak dan dan faktor ekternal yang berwujud lingkungan di sekitar anak, baik yang berwujud lingkungan fisik seperti tempat tinggal, makanan dan alat-alat permainan ataupun lingkungan sosial seperti jumlah anak, peran ayah/ ibu, peran nenek/ kakek, peran pembantu, serta nilai dan norma sosial yang berlaku.

Ayat di atas yang menjadi doa sehari-hari setiap orang tua yang mendambakan hadirnya keturunan yang qurratu a’yun, hendaknya dijadikan acuan dalam pembinaan anak, sehingga tidak lengah sesaatpun dalam upaya melakukan pengawasan, pendidikan dan pembinaan anak-anak mereka. Itulah diantara ciri Ibadurrahman yang disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya yang memilki kepedulian besar terhadap nasib anak-anak mereka di masa yang akan datang. Semoga akan senantiasa lahir dari rahim bangsa ini generasi yang qurratu a’yun, bukan hanya untuk kedua orang tuanya, tetapi juga masyarakatnya dan bangsanya. Amin.

Senin, 19 Juli 2010

8 Golongan Yang Berhak Menerima Zakat

Sumber : Dakwatuna.com

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)

Pertama: Fuqara Masakin
1. Fakir adalah orang yang membutuhkan dan tidak meminta minta, sedangkan miskin adalah yang meminta-minta.
2. Keduanya bermacam-macam:
  • orang yang tidak memiliki kekayaan dan tidak pula pekerjaan
  • orang yang memiliki kekayaan dan pekerjaan yang tidak mencukupi setengah kebutuhan
  • orang yang memiliki kekayaan dan pekerjaan yang tidak mencukupi kebutuhan standar
3. Sedangkan orang kaya yang tidak boleh menerima zakat adalah orang yang telah memiliki kecukupan untuk diri dan keluarga.
4. Orang fakir miskin diberikan sejumlah yang dapat mencukupinya
  • yang mencukupinya sepanjang hidupnya, menurut Imam Syafi’i
  • yang mencukupinya selama satu tahun, menurut madzhab Maliki dan Hanbali
Bentuk kecukupan sepanjang hidup dapat berupa alat kerja, modal dagang, dibelikan bangunan kemudian diambil hasil sewanya, atau sarana-sarana lainnya seperti yang disebutkan oleh madzhab Syafi’i dalam buku-bukunya secara rinci.
Di antara kecukupan adalah buku-buku dalam bermacam ilmu, biaya pernikahan bagi yang membutuhkan. Sebab, tujuan utama zakat adalah mengangkat fakir miskin sampai pada standar layak.

Kedua: Amilin
Yaitu orang-orang yang bertugas mengambil zakat dari para muzakki dan mendistribusikan kepada para mustahiq. Mereka itu adalah kelengkapan personil dan finasial untuk mengelola zakat.
  1. Termasuk dalam kewajiban imam adalah mengutus para pemungut zakat dan mendistribusikannya, seperti yang pernah dilakukan Rasulullah dan para khalifah sesudahnya.
  2. Syarat orang-orang yang dapat dipekerjakan sebagai amil pengelola zakat, adalah seorang muslim, baligh dan berakal, mengerti hukum zakat-sesuai dengan kebutuhan lapangan- membidangi pekerjaannya, dimungkinkan mempekerjakan wanita dalam sebagian urusan zakat, terutama yang berkaitan dengan wanita, dengan tetap menjaga syarat-syarat syar’i.
  3. Para amil mendapatkan kompensasi sesuai dengan pekerjaannya. Tidak diperbolehkan menerima suap, meskipun dengan nama hadiah, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim, “Sesungguhnya aku mempekerjakan kalian salah seorang di antaramu melaksanakan tugas yang pernah Allah sampaikan kepadaku, kemudian datang kepadaku dan mengatakan: ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku’, apakah ketika ia duduk di rumah ayah ibunya akan ada hadiah yang menghampirinya?”
  4. Para amil harus bersikap lunak dengan para muzakki, meyakinkan apa yang menjadi kewajibannya, mendoakannya ketika mengambil zakat, menetapkan para mustahiq, dan memberikan bagian mereka.

Ketiga: Muallaf
Mereka itu adalah orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya untuk memeluk Islam, atau untuk menguatkan Islamnya, atau untuk mencegah keburukan sikapnya terhadap kaum muslimin, atau mengharapkan dukungannya terhadap kaum muslimin.
  1. Bagian para muallaf tetap disediakan setelah wafat Rasulullah saw., karena tidak ada nash (teks Al-Qur’an atau Sunnah) yang menghapusnya. Kebutuhan untuk melunakkan hati akan terus ada sepanjang zaman. Dan di zaman sekarang ini keberadaannya sangat terasa karena kelemahan kaum muslimin dan tekanan musuh atas mereka.
  2. Yang berhak menetapkan hak para muallaf dalam zakat hanyalah imam (kepala Negara). Dan ketika tidak ada imam, maka memungkinkan para pemimpin lembaga Islam atau organisasi massa tertentu mengambil peran ini.
  3. Diperbolehkan juga di zaman sekarang ini memberikan zakat kepada para muallaf bagi mereka yang telah masuk Islam untuk memotivasi mereka, atau kepada sebagian organisasi tertentu untuk memberikan dukungan terhadap kaum muslimiin. Juga dapat diberikan kepada sebagian penduduk muslim yang miskin yang sedang dirakayasa musuh-musuh Islam untuk meninggalkan Islam. Dalam kondisi ini mereka dapat pula diberikan dari selain zakat.

Keempat: Para Budak
Zakat dapat juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu dengan:
  • Membantu para budak mukatab, yaitu budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya dari zakat.
  • Atau dengan membeli budak kemudian dimerdekakan
Pada zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya.

Kelima: Gharimin (orang berhutang)
Al-Gharim adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Ada dua macam jenis gharim, yaitu:
1. Al-Gharim untuk kepentingan dirinya sendiri, yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan, pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan syarat:
  • membutuhkan dana untuk membayar hutang
  • hutangnya untuk mentaati Allah atau untuk perbuatan mubah
  • hutangnya jatuh tempo saat itu atau pada tahun itu
  • tagihan hutang dengan sesama manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat menagihnya.
Al-Gharim diberikan sejumlah yang dapat melunasi hutangnya.
2. Al-Gharim untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu melunasinya dari zakat.
Diperbolehkan membayar hutangnya mayit dari zakat. Karena gharim mencakup yang masih hidup dan yang sudah mati. Demikian madzhab Maliki, berdasrkan hadits Nabi yang bersabda, “Aku adalah yang terdekat pada seorang mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya; dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau kehilangan, maka kepadaku dan kewajibanku.” (muttafaq alaih)
Sebagian ulama hari ini memperbolehkan zakat dipinjamkan dengan qardhul hasan karena qiyas aulawiy (prioritas), yaitu jika hutang yang sudah terjadi boleh dibayarkan dari zakat, maka qardhul hasan yang bersih dari riba lebih prioritas dari pada pembagian zakat. Berhutang dalam dua keadaan itu tujuannya sama, yaitu untuk menutup kebutuhan.

Keenam: Fii Sabilillah
Ibnul Atsir berkata, kata Sabilillah berkonotasi umum, untuk seluruh orang yang bekerja ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban, yang sunnah dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dan jika kata itu diucapkan, maka pada umumnya ditujukan untuk makna jihad. Karena banyaknya penggunaannya untuk konotasi ini maka sepertinya kata fisabilillah, hanya digunakan untuk makna jihad ini (lihat Kitab An-Nihayah Ibnu Atsir).

Menurut empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam makna fi sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti majid, madrasah, dan lain-lain.

Pandapat lain. Imam Ar Razi mengatakan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya teks zhahir dari firman Allah wa fii sabiilillah (وفي سَبيل الله) tidak hanya terbatas pada para tentara saja. Demikianlah yang dirilis oleh Al-Qaffal dalam tafsirnya dari sebagian ulama fiqih, bahwa mereka memperbolehkan penyaluran zakat kepada seluruh proyek kebaikan seperti mengkafani mayit, membangun pagar, membangun masjid, karena kata fi sabilillah berlaku umum untuk semua proyek kebaikan.

As-Sayyid Siddiq Hasan Khan berkata, sabilillah artinya seluruh jalan yang menuju kepada Allah. Sedangkan jihad –meskipun jalan terbesar kepada Allah– tetapi tidak ada dalil yang mengkhususkan pembagian zakat hanya kepada mujahid. (lihat Ar-Raudhatun Nadiyyah).

Rasyid Ridha berkata, sabilillah di sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat transportasi, pemberangkatan pasukan… dan termasuk juga dalam hal ini adalah mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).

Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam hal ini menyatakan, sabilillah adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu dia menyebutkan, setelah pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel kereta, dan mempersiapkan para dai.

Syeikh Hasanain Makhluf, Mufti Mesir, berfatwa tentang kebolehan menyalurkan zakat kepada seluruh organisasi kebaikan Islam, bersandar kepada ungkapan Ar-Razi dari Al-Qaffal dan lain-lain dalam memaknai kata fi sabilillah.

Dalam Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb berkata, fi sabilillah adalah jalan luas yang mencakup seluruh kemaslahatan jama’ah yang menegakkan kalimat Allah.

Kesimpulannya, yang rajah (kuat) bahwa yang dimaksud dari firman Allah “fisabilillah” adalah jihad seperti yang dimaksudkan oleh jumhurul ulama. Akan tetapi bentuk jihad pada masa sahabat dan para ulama sesudahnya terbatas pada berperang. Karena hukum Allah sudah berdiri tegak dan Negara Islam berwibawa. Adapun pada zaman sekarang ini, bentuk jihad itu tampil dengan warna yang bermacam-macam untuk menegakkan agama Allah, menyampaikan dakwah dan melindungi umat Islam. Kami berpendapat bahwa sangat mungkin untuk menyalurkan zakat kepada lembaga-lembaga modern seperti ini yang masuk ke dalam bab fisabilillah. Yaitu jalan yang digunakan untuk membela agama Allah dan menjaga umat Islam, baik dalam bentuk tsaqafah (wawasan), pendidikan, media, atau militer, dst. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa peperangan yang boleh dibiayai dengan zakat adalah perang fisabilillah di bawah bendera Islam, untuk membela kepentingan Islam dan dibawah komando pemimpin Islam.

Ketujuh: Ibnu sabil
Mereka adalah para musafir yang kehabisan biaya di negera lain, meskipun ia kaya di kampung halamannya. Mereka dapat menerima zakat sebesar biaya yang dapat mengantarkannya pulang ke negerinya, meliputi ongkos jalan dan perbekalan, dengan syarat:
  • Ia membutuhkan di tempat ia kehabisan biaya.
  • Perjalanannya bukan perjalanan maksiat, yaitu dalam perjalanan sunnah atau mubah.
  • Sebagian madzhab Maliki mensyaratkan: tidak ada yang memberinya pinjaman dan ia mampu membayarnya.
Penyaluran zakat kepada para mustahiq
  1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
  2. Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
    1. Tidak diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
    2. Diperbolehkan memberikan zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk pembiayaan mujahid di medan perang.
    3. Ketika membagikan zakat kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan kebutuhan.
    4. Selalu diperhatikan bahawa kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
    5. Jika muzakki yang membagikan langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup kebutuhan.
    6. Jika imam yang membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja.

Pokok-pokok Dalam Mendidik Anak

Penulis : Arda Dinata

Sesungguhnya anak kecil itu merupakan amanat bagi setiap orangtuanya. Hatinya masih suci bersih dan kosong. Jika dibiasakan dan diajari kebajikan, ia akan tumbuh pada kebajikan dan berbahagia di dunia maupun di akhirat. Nabi SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabarani).

Untuk memudahkan pemahaman dalam proses mendidik anak, para ulama sepakat bahwa kehidupan seseorang itu dibagi beberapa fase. Mulai fase persiapan (usia sejak lahir sampai 2 tahun), fase permulaan anak-anak (2-6 tahun), fase paripurna anak-anak (6-12 tahun), fase permulaan remaja (12-15 tahun), fase pertengahan remaja (15-18 tahun), fase paripurna remaja (18-22 tahun), fase kematangan dan pemuda (22-30 tahun), fase pertengahan usia atau kejantanan (30-60 tahun), dan fase lanjut usia (dari 60 tahun ke atas).

Dalam kenyataannya, fase anak-anak dan remaja merupakan fase paling penting dalam bidang pembentukan dan pembinaan kepribadian seorang anak. Apabila seorang anak berhasil melewati fase ini dengan baik, itu artinya ia akan hidup dengan jiwa yang sehat dan kepribadian ideal. Sebaliknya, bila tidak berhasil melewatinya, ia akan menemukan berbagai macam kesulitan dalam pembentukan jiwa, sikap, dan perilaku sosial di masa yang akan datang. Hal ini didasari karena seorang anak pada usia pertama dalam hidupnya, akan banyak belajar dari pengalaman-pengalaman yang dapat membantunya berkembang secara sehat. Bila pada fase ini, seorang anak hidup dalam iklim keluarga yang tenang, penuh cinta, kasih dan sayang, ia tentu sanggup berkembang secara sehat, sehingga dapat beradaptasi dengan dirinya sendiri dan masyarakatnya.

Lebih jauh, keluarga yang dipenuhi rasa kasih dan sayang dan rasa saling pengertian atas dasar kepercayaan, menghormati, menghargai, cinta, dan menjaga keseimbangan antara kebebasan dan pembatasan (baca : konsensus bersama antar anggota keluarga), adalah keluarga yang berhasil menampilkan sosok yang matang. Sebaliknya, keluarga yang menanamkan kebencian, kedengkian, ketakutan, dan dendam pada jiwa anak-anak, adalah keluarga yang menampilkan sosok yang menyimpang, kontroversial, lemah, dan bermasalah. Jadi, prinsip dasar seperti itulah yang seharusnya melekat dalam mendidik anak. Orangtua hendaknya senantiasa membingkai setiap tindakan dan perilakunya dalam oase kasih sayang. Inilah harga mahal dari proses mendidik anak.

Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, secara hirarkis pokok-pokok dalam mendidik anak secara Islam itu meliputi tujuh tahapan tanggung jawab yang harus dilakukan orangtua dan pendidik, yaitu :

Pertama, tanggung jawab pendidikan iman. Di dalamnya menyangkut tentang membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah; mengenalkan hukum halal dan haram kepada anak sejak dini; menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun; dan mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, serta membaca Al-Qur'an.

Kedua, tanggung jawab pendidikan moral. Jika sejak masa kanak-kanak, ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan, dan berserah diri kepada-Nya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping terbiasa dengan akhlak mulia. Sehingga dari sini, anak akan terhindar dari jeratan perilaku suka berbohong, suka mencuri, suka mencela dan mencemooh, serta terhindar dari kenakalan dan penyimpangan yang dilarang agama.

Ketiga, tanggung jawab pendidikan fisik. Tanggung jawab ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Amanat ini di dalamnya berisi tentang tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dan anak; mengikuti aturan kesehatan dalam makan, minum, dan tidur; melindungi diri dari penyakit menular; merealisasikan prinsip tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain; membiasakan anak berolah raga; membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan; membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan diri dari penggangguran, penyimpangan, serta kenakalan.

Keempat, tanggung jawab pendidikan rasio (akal). Orangtua dan pendidik hendaknya mampu membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu agama, kebudayaan, dan peradaban. Di sini, anak diusahakan untuk selalu belajar, menumbuhkan kesadaran berpikir, dan kejernihan berpikir (baca : kesehatan berpikir).

Kelima, tanggung jawab pendidikan kejiwaan. Pendidikan ini dimaksudkan untuk mendidik anak berani bersikap terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Salah satu bentuknya adalah bagaimana mendidik anak untuk tidak bersifat minder, penakut, kurang percaya diri, dengki, dan pemarah.

Keenam, tanggung jawab pendidikan sosial. Yakni mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama. Di antaranya berupa penanaman prinsip dasar kejiwaan yang mulia didasari pada akidah Islamiah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, sehingga si anak di tengah-tengah masyarakat nantinya mampu bergaul dan berperilaku sosial dengan baik, memiliki keseimbangan akal yang matang, dan tindakan yang bijaksana.

Ketujuh, tanggung jawab pendidikan seksual. Di sini, orangtua dan pendidik hendaknya mampu mendidik tentang masalah-masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan. Sehingga ketika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui apa saja yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan. Lebih jauh lagi, ia diharapkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak dan kebiasaan hidup, serta tidak diperbudak syahwat dan tenggelam dalam gaya hidup hedonis.
Wallahu a’lam.

90 Langkah Menuju Musholla

Penulis : Abi Sabila

Lelaki istimewa itu bernama Didi. Aku biasa memanggilnya pak Didi. Usianya kini sudah berkepala enam. Aku mengenal beliau sudah sekitar tiga tahun, semenjak aktif menjadi jama'ah di mushala Baiturrohim. Beliau tinggal bersama keluarganya di RT 04 tak jauh dari mushala, sedang aku tinggal di RT 02. Secara pribadi, aku memang tidak tahu banyak tentang beliau, namun di mataku beliau adalah sosok yang luar biasa. Salah satu ‘keistimewaan’nya telah memberiku semangat sekaligus menyadarkanku akan besarnya nikmat yang telah Allah berikan.

Pertama, beliau ini aktif shalat berjama'ah di mushala Baiturrohiim. Beliau selalu menempati tempat yang tetap, di shaft pertama ujung sebelah kiri. Kedua, beliau selalu menjadi jama'ah yang pertama hadir untuk shalat Shubuh. Suara merdunyalah yang pertama kali terdengar melantunkan shalawat dari pengeras suara mushala yang terletak di sisi jalan yang memisahkan RT 02 dan RT 04 ini. Dan beliaulah yang lebih sering mengumandangkan adzan shubuh, baru kemudian yang lain datang, termasuk aku. Hanya itu? Tidak! Pak Didi terasa lebih istimewa, karena beliau kini hanya memiliki empat indera.

Kecelakaan kerja beberapa tahun silam telah membuat indera penglihatan pak Didi tidak berfungsi lagi. Secara fisik, mata beliau tidak mengalami cacat, hanya saja keduanya kini sudah tidak bisa melihat sama sekali. Jika pak Didi selalu menempati tempat favoritnya di shaft pertama sebelah kiri, ini wajar, sebab beliau selalu datang dari pintu sebelah kiri, kemudian menyusuri tembok dan akan berhenti ketika tangannya sudah menyentuh tembok depan. Semua jama'ah mushala sudah tahu akan hal itu, dan tak pernah ada yang mencoba menempati tempat ‘eksklusif’ Pak Didi.

Saat datang untuk shalat maghrib, aku sering melihat Pak Didi diantar oleh cucu laki-laki dan sesekali oleh cucu perempuannya yang baru berusia belasan tahun. Usai shalat maghrib, pak Didi lebih sering tetap berada di tempatnya, berdzikir, dan mendengarkan jama'ah lain mengaji. Usai shalat isya, biasanya sang istri sudah menunggu di depan pintu mushala.

Lalu, bagaimana cara beliau mendatangi mushala untuk shalat shubuh ketika belum satupun jama'ah lainnya hadir di mushala ini? Aku tak pernah tahu. Setiap aku tiba di mushala, beliau sudah datang lebih dulu. Justru, seringnya lantunan shalawat beliaulah yang membangunkanku. Setiap kali aku mencoba untuk datang lebih awal, selalu saja beliau sudah lebih dulu berada di dalam mushala.

Aku makin penasaran. Sampai akhirnya, suatu saat aku mendapatkan kesempatan untuk bertanya kepada beliau, siapa yang mengantarnya ke mushala, membangunkan warga sekitar untuk shalat shubuh berjama'ah. Diantar cucunya yang masih kecil itukah, atau diantar istrinya yang setia?

Aku terkejut mendengar jawaban pak Didi.
“Selama ini, untuk shalat shubuh saya lebih sering datang ke mushala sendiri, tanpa diantar cucu atau istri. Bukannya mereka tidak mau, tapi memang mau saya begitu. Sebelum shubuh, jalanan masih sepi, jadi saya tidak khawatir berpapasan dengan orang-orang yang lalu lalang.”
“Pak Didi tidak takut nabrak, terpeleset, atau maaf, nyasar misalnya?” dengan hati-hati aku bertanya, takut beliau tersinggung.
“Insya Allah tidak. Saya sudah mempunyai hitungan sendiri,“ beliau menjawab dengan tenang, tanpa menunjukan rasa tersinggung sedikit pun atas pertanyaanku.
“Maksudnya, hitungan bagaimana, Pak?” aku makin penasaran.

Kemudian dengan gamblang beliau menjelaskan ‘rumus’ yang dimilikinya untuk bisa sampai ke mushala ini tanpa nabrak ataupun khawatir terpeleset ke dalam selokan yang berada di sisi jalan. Dengan bantuan tongkat kecilnya, beliau berangkat dari rumah sendiri ketika orang-orang (termasuk aku) masih lelap dalam tidur. Beliau berjalan dengan mengandalkan ingatan mengenai jalan menuju mushala. Kebutaan yang dialami pak Didi memang bukan sejak lahir, tapi karena kecelakaan, jadi beliau masih memiliki gambaran tentang jalan dan juga rumah-rumah yang ada disepanjang jalan menuju mushala.

Pertama, beliau ke luar rumah dan berjalan lurus kurang lebih 10 langkah. Sampai di jalan kecil ber-konblok, beliau belok kiri dan melangkah sekitar 15 langkah. Dengan bantuan tongkatnya, beliau akan memastikan tembok rumah tetangganya, dimana dia harus belok kanan dan melangkah lagi sekitar 10 langkah. Saat berada di jalan ini, tangan kiri beliau akan meraba tembok rumah tersebut, hingga sampai di ujung. Kemudian beliau akan belok kiri dan berjalan lurus kurang lebih 28 langkah. Setelah itu beliau akan berbelok ke arah kanan, maju 10 langkah, dan mencoba memastikan keberadaan tembok mushala dengan tongkat kecilnya. Setelah berhasil menemukan tembok mushala, beliau kemudian akan terus maju hingga kurang lebih 17 langkah sampai beliau bisa menyentuh pintu mushala.

Begitulah, setiap pagi disaat orang-orang masih banyak yang terlelap, pak Didi sudah lebih dulu datang ke mushala dengan ‘meraba’ jalanan yang gelap. Gelap, benar-benar gelap, bukan karena tak ada lampu, tapi karena beliau sudah tak bisa menangkap apapun dengan indera penglihatannya. Aku sering mendapati buktinya. Ketika tiba di mushala, keadaan masih gelap, tak ada lampu yang menyala, padahal pak Didi sudah berada di dalamnya melantunkan shalawat atau mengumandangkan adzan. Dan jika ia mampu menggunakan pengeras suara untuk membangunkan warga dengan shalawat dan adzan, itu juga ia lakukan dengan cara meraba. Subhanallah!

Aku tertegun mendengar cerita pak Didi. Aku merasa malu, malu dengan diriku sendiri. Allah telah memberiku anugerah yang sangat besar. Kelima inderaku semua berfungsi dengan sempurna, namun sering kuanggap biasa-biasa saja. Syukur itu seringkali hanya menjadi ucapan bibir semata. Sementara pak Didi, istiqamah mendatangi jama'ah shalat shubuh dengan susah payah, bahkan selalu hadir lebih awal, dalam kegelapan yang sebenarnya. Pak Didi mampu mewujudkan syukur itu dalam tindakan nyata. Kebutaan, kegelapan yang kini beliau rasakan, mampu beliau terima sebagai sebuah kenikmatan.

Terima kasih, pak Didi. Kisahmu membukakan pintu hidayah bagiku. Ceritamu memberikan semangat untuk selalu datang ke mushala, shalat berjama'ah meskipun aku belum bisa mengalahkanmu, karena engkau selalu datang lebih dulu.

Minggu, 18 Juli 2010

Dapatkah Kita Menjadi Lebih Sabar?

Artikel ini cukup relevan dengan kondisi saat ini. Tadi pagi waktu saya sarapan di warung sebelah kantor, saya dengar keluhan Si Pemilik Warung tentang kenaikan harga bahan-bahan pokok, akan tetapi sangat tidak mudah untuk menaikkan harga sepiring hidangan sarapannya oleh karena Si Pembeli pun mengeluhkan hal serupa. Sepertinya sistem ekonomi kapitalis menunjukkan kelemahannya sendiri, dan sayangnya pemerintah kita malah mengandalkan sistem ekonomi ini untuk mengurangi "beban-beban" pikiran dan pekerjaannya. Notabene sistem ekonomi ini lebih banyak diserahkan mekanisme pasar.

Selamat menyimak artikel ini... semoga bermanfaat, dan semoga ini jadi pelecut kita untuk lebih peduli pada lingkungan sekitar kita khususnya dan bangsa ini pada umumnya...

dikutip dari Eramuslim.com
 
Ternyata dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) mempunyai efek yang sangat luas bagi masyarakat. Bukan hanya adanya kenaikan harga-harga kebutuhan bahan pokok, tetapi juga merosot tingkat daya beli masyarakat, serta inflasi yang menggerogoti kemampuan masyarakat secara luas. Rakyat tidak banyak mempunyai pilihan atas keputusan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Assosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, kenaikan TDL, sangat memukul para pengusaha, termasuk usaha kecil dan menengah (UKM). Di mana awalnya antara pengusaha dan pemerintah menyepakati kenaikan TDL kisarannya hanyalah 10-15 persen, tetapi kenyataannya antara 11-80 persen. Dampak kenaikan TDL ini akan semakin membebani kehidupan para pekerja, petani, nelayan, dan masyarakat dengan penghasilan yang kecil (marginal). Mereka akan semakin terpuruk dengan kenaikan TDL ini. 

Penghasilan buruh, yang rata dibawah Rp 1, 500.000 itu, pasti tidak akan dapat menghadapi berbagai kenaikan harga, yang merupakan akibat dari kenaikan TDL. Rata-rata para pekerja di pabrik, para buruh tani, nelayan, dan masyarakat marginal, hidupnya akan semakin tergerus dengan adanya keputusan pemerintah yang menaikkan TDL. Keputusan yang sudah disepakati antara pemerintah dengan DPR. Inilah sebuah malapetaka bagi kehidupan rakyat, yang terus menerus di dera dengan kenaikan-kenaikan. 

Selain adanya kenaikan TDL ini, sebentar lagi, pemerintah juga akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang tujuannya untukmengurangi subsidi. Pemerintah bertujuan mengurangi subsidi secara drastis. Karena, subsidi bertentangan dengan konsep ekonomi kapitalis. Dengan kenaikan BBM ini, lebih-lebih akan semakin terpuruknya kehidupan rakyat secara luas. Mereka akan semakin tidak mampu menghadapi tingkat hidup dengan beban, yang semakin berat.

Tentu, skenario yang paling buruk adalah kemungkinan banyaknya perusahaan yang bangkrut, akibat dari kenaikan TDL dan BBM,yang dampaknya akan terjadi PHK terhadap jutaan kaum buruh, yang sekarang ini menggantungkan hidup mereka bekerja di sektor perusahaan. Sementara itu, perusahaan yang ada terpukul akibat kenaikan TDL yang sudah berlangsung sejak 12 Juli lalu.

Pemerintah belum dapat mengurangi pengangguran yang setiap tahunnya, angka-angka pengangguran terus bertambah, dan ditambah dengan adanya kondisi perusahaan yang ada mengalami kebangkrutan dan kemudian menutup usaha mereka. Pasti ini akan mengakibatkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan perusahaan. Sebuah skenario yang sangat buruk bagi kehidupan bangsa Indonesia dan masa depan mereka.

Di bulan Juli dan Agustus ini, para orang tua, juga dihadapkan tahun ajaran baru di semua tingkatan, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Semuanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara itu, para orang tua, yang dari kalangan marginal, jangankan memikirkan biaya sekolah, menghadapi kebutuhan untuk mempertahankan hidup sehari-hari mereka sudah sangat pahit. Tidak mungkin mereka dapat menjalani kehidupan mereka. Termasuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka dengan kondisi ini. Mereka akan semakin jauh dari harapan untuk dapat hidup layak, dan dapat memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka, karena kondisi yang mereka hadapi akibat kebijakan pemerintah terus mereduksi (menggeroroti) kemampuan mereka untuk dapat bertahan hidup. Semakin hari seperti seakan-akan pemerintah ini sudah tidak mampu melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Jumlah orang miskin yang berhasil diangkat menjadi nol, karena munculnya orang miskin baru, yang jumlahnya jauh lebih besar lagi. Semuanya itu karena adanya kenaikan harga-harga, yang pemerintah tindak dapat mengendalikannya. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan pemerintah tidak mampu melakukan interv ensi. Inilah hukum pasar,yang menjadi ‘credo’ (aqidah) ekonomi kapitalis. Semuanya diserahkan kepada pasar. Karena itu, yang akan menikmati dari kebangkrutan rakyat miskin, tak lain kaum pemilik modal, yang semakin kaya,karena mereka menguasai jaringan ekonomi, yang sudah menjadi sebuah kartel.

Seharusnya Indonesia sudah memiliki sistem jaminan sosial yang dapat melindungi kelompok masyarakat miskin. Seperti bantuan bagi kaum miskin, para penganggur, pensiunan, dan jaminan kesehatan. 

Dan, berdasarkan konstitusi mengeyahkan kemiskinan itu, merupakan tujuan dari kemerdekaan. Kenyataannya sejak Indonesia merdeka, tahun 1945, hingga kini, bukan semakin baik, hakikat kehidupan rakyat Indonesia, tetapi semakin jauh dari cita-cita yang ingin diwujudkan sebagai sebuah entitas bangsa yang merdeka dan berdaulat. Masih dapatkah kita bersabar? Wallahu’alam.