Minggu, 24 Agustus 2008

Mengenalkan Dunia Nyata pada Anak

oleh: Retno WI, Relawan BSMI Jember

Mobil yang membawa rombongan mulai memasuki hutan karet di daerah Kongsi Delima Jember. Tandanya kami sudah semakin dekat dengan kamp pengungsian para korban banjir. Suasana rindang dan sejuk mampu menghilangkan perasaan tidak nyaman selama melewati jalanan terjal. Dan perjalanan kali ini begitu istimewa. Bukan karena keelokan suasana hutan karet melainkan kesertaan beberapa anak kecil di dalam rombongan relawan. Yang pasti, mereka bukanlah anak-anak korban bencana yang menumpang melainkan anak-anak dari para relawan yang memang sengaja diajak untuk terjun ke daerah bencana.


Mobil berhenti di sebuah pos. Kaki-kaki kecil itu segera turun dengan hati-hati. Sambil menunggu para relawan menurunkan barang-barang, mata kecil mereka menikmati rindangnya pohon-pohon karet yang berdiri berjajar. Tak ada nada keluh dari bibir mereka meskipun hampir setengah jam kami melewati jalan yang penuh batu-batu. Setelah semua barang siap, bergegas kami berjalan menuruni lerreng bukit. Termasuk anak-anak itu. Dengan hati-hati mereka berjalan karena jalanan begitu licin. Hanya seorang anak paling kecil yang digendong. Setelah menyeberangi sungai dengan melewati jembatan bambu, kami masih harus naik ke tempat yang lebih tinggi untuk mencapai lokasi.


Tenda-tenda terpal mulai terlihat. Beberapa anak kecil langsung
berlari sambil berteriak, "Bu Guru datang! Bu Guru datang!". Mereka juga menyambut anak-anak para relawan dengan akrab. Tak peduli kalau mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Suasana hangat dan menyatu terjadi begitu alami. Mereka tertawa dan bermain bersama. Termasuk ketika Tim Trauma Healing mengajak mereka mengaji dan menggambar, anak-anak relawan pun ikut menjadi peserta.

Menyaksikan peristiwa itu saya akhirnya berpikir bahwa ada kalanya kita harus mengenalkan dunia lain kepada anak-anak. Biasanya ketika berbicara tentang dunia anak, cenderung identik dnegan kenyamanan, keceriaan, dan upaya tumbuh kembang yang optimal. Orangtua akan melakukan apa saja agar anak-anak tumbuh cerdas, sehat, dan aman. Tak peduli berapa rupiah harus keluar untuk membekali anak-anaknya agar tanggap dengan kemajuan teknologi, berprestasi pada semua bidang atau sekedar menjadi juara di sekolah. Semua fasilitas seperti buku dan komputer, guru privat disediakan untuk bisa mewujudkannya. Bahkan orangtua cenderung over protektif kepada anak-anaknya.


Tentu tidak ada yang salah dari upaya para orangtua tadi. Orangtua mana yang tidak ingin anaknya memiliki prestasi lebih? Namun ada hal yang sering dilupakan oleh para orangtua. Bahwa anak-anak mereka seharusnya juga memiliki kecerdasan dan kepekaan sosial. Mereka harus mulai dikenalkan dengan realitas masyarakat yang sebenarnya. Bahwa ada diantara mereka yang hidup dengan segala keterbatasan. Bahwa ada sekelompok orang yang harus hidup di tenda-tenda pengungsian. Bahwa ada teman-teman seuasianya yang tidak bisa sekolah. Bahwa ada teman-temannya yang tidak lagi mempunyai orangtua dan saudara.

Bagaimanapun, anak-anak kita adalah aset peradaban masa depan. Tak cukup kalau mereka hanya kita bekali dengan segala kecanggihan teknologi. Jangan pula merasa puas saat mereka memiliki IQ tinggi dan berprestasi gemilang di dunia akademik. Mereka adalah calon pemimpin yang harus memahami kondisi masyarakatnya. Mereka harus mulai mengenal realitas sosialnya sejak dini. Jadi, biarkan mereka mengenal dunia. Mungkin saat ini mereka tidak begitu memahami apa yang
sebenarnya terjadi. Tapi, mereka telah mulai melihat dan mengenal sebuah dunia lain yang belum terbayangkan sebelumnya.